Aku mengenalmu, bahkan sangat memahami siapa dirimu. Di matamu ada matahari, sejak semula memberi hangat di selubung hati. Senyumu mengandung cahaya, entah telah ribuan kali membuatku terjaga, setelah terpuruk dan terjatuh teramat parah. Hadirmu memberi terang dalam gelap teramat panjang.
Tapi gerimis menenggelamkan matahariku. Hanya gerimis dengan beberapa butiran tangis, di perparah kehadiran awan hitam menyerupai jubah. Menutup ceria yang engkau punya, mengubur oftimis dengan selubung magis. Kecewa ternyata bersalin rupa, membunuh matahariku dengan berpura-pura. Demi setia, mengatas namakan kerelaan jiwa.
Matahari menangis dalam pelukanku, menumpahkan airmata derita serupa magma. Matahari hanya menitipkan bisikan di telingaku, " jangan pernah kecewakan matahari. Ia telah berkorban hingga harus merelakan mati".
Matahariku, ku insyafi pesan terakhirmu.
*****
Baganbatu, mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H