Mengembara, ribuan purnama mengitari setengah dunia, berlari kencang menuruni lembah curam, terengah-engah mendaki gunung Himalaya. Rindu menambah berat derita, bayangan wajah sendu mengubah samudera laksana lautan bara. Ada rona wajahmu dimana-mana, ada tetes airmatamu menenggelamkan kecewa.
Setelah ku taklukan bianglala, setelah ku rayu para penjaga kaki cakrawala, menjadi abdi purnama agar bermurah hati memendekkan masa. Pertemuan engkau dan aku telah di depan mata, aroma melati wangi rambut hitamu telah merasuki rongga dada. Â Rindu kan berubah jumpa, jiwa-jiwa ini kan menemukan telaga pembilas dahaga.
Namun apa daya. Ternyata tubuh-tubuh kita terlalu cepat menua, rambut memutih menandakan lamanya rindu mendera, gigi telah tanggal seiring bilangan hari menabur kecewa. Sungguh tak pernah ada dalam mantra asmara, tapi kini nyata menghadang bak benteng menjulang.
"Kang, ini cucu dan tiga cicitku!"
Memilikinya adalah dosa. Ada lelaki yang juga menua di sampingnya.
Ternyata Tuhan telah mempertemukan rindu dengan makna berbeda.Â
*****
Baganbatu, mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H