Angin bulan mei bertiup tak tentu arah, seakan mengabarkan musim pancaroba segera tiba, atau mungkin derita demi derita tengah mendera. Atap-atap rumbia biasanya merasakan getaran sukma, kini menunggu dengan nada gelisah, gerangan apakah yang hendak angin sampaikan kepada samudera. Entah disengaja atau sekedar kebetulan belaka, perasaanku terwakili dengan sempurna.
Kinanti, lebaran kali ini penuh sekat di mana-mana. Tapi terlalu biasa bagiku yang berhati hampa. Adakah dari alam sana pandangmu terhalang jarak yang memisah? Ataukah jiwamu tengah merontah penuh rindu ingin jumpa.
Menyaksikan pinisepuh membakar dupa, berharap para kekasih tercinta sekejap menyeberang dari alam surga, hatiku semakin teriris mengingat kepedihanmu sungguh tak terkira. Menangiskah engkau berjauhan dipenggal masa? Rindukah suasana hangat lebaran seperti dahulu kala.
Kinanti, jika engkau datang bersama aroma dupa, mengapa tak mengetuk hatiku seketika. Ataukah hatimu masih dilamun kecewa, mengenang penghianatanku hingga membunuhmu dengan derita.
Kinanti, maafkan salahku. Jika pertemuan ini terjadi, ijinkan aku mengusap air matamu, sekedar meneduhkan hatimu yang penuh gemuruh.
Kinanti, yakinku engkau memahami puisi ini.
*****
Baganbatu, mei 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI