Cuaca gerah. Langkah kaki tergesah-gesah. Suara bising saling menimpali menambah riuh suasana.
Mall, pusat-pusat perbelanjaan, pasar tradisional, mendadak sesak oleh manusia dengan satu tujuan. "Baju baru untuk lebaran".
Aku hanya terpaku di seberang jalan, mematung seakan tercipta sebagai saksi mata atas segala keriuhan yang ada. Menyaksikan sekian banyak orang berdesakan, hilir-mudik tanpa peduli protokol kesehatan. Mereka sibuk, seperti asyik memilah dan memilih aneka jenis baju untuk lebaran.
Teringat aku akan anak-anaku, bocah-bocah lugu yang tentu ingin merayakan lebaran dengan syahdu. Ada panganan, ada hidangan istimewah, atau juga menginginkan baju cantik dan baru seperti mereka.
Tapi aku dan anak-anaku telah bersepakat, lebaran itu tidak harus dirayakan dengan segala yang serba wah.
"Nak, lebaran ini tetap tanpa baju baru".Â
Tidak ada rona kecewa di wajah anaku, tidak ada suara protes dari bibir anak-anaku. Â Mereka malah tersenyum.
"Pak, ngapain sih pengumuman lebaran tanpa baju baru diumumkan lagi? Kami anak-anak bapak seratus persen sangat paham".
Anak gadisku berbicara sambil tersenyum penuh ceria. Anak lelakiku mengangguk mantab dengan wajah ikhlas tanpa merasa terpaksa.
"Kita kerumah nek Imah. Aku mau kasih uang tabunganku, biar nek Imah ikut bergembira di lebaran nanti".
Riuh seketika anak-anaku penuh rencana, berniat membantu sesama. Daripada beli baju baru, mending beramal menambah pundi-pundi pahala.