Sungguh. Aku membencimu. Engkau mengawasi dengan mata tajamu. Memindai seluruh aliran rasa di urat nadi, menghitung dan mengkalkulasi, sebentuk emosi, getar dan denyut sambungan antara cinta dan benci. Antara cemburu dan benih kasih. Itu menyakiti. Tapi engkau tak peduli.
Harus kuakui. Matamu indah bila kuingat dalam mimpi. Bahkan aku hampir gila, kebencianku kepadamu ternyata berujung cinta. Entah ini sebentuk fatamorgana, Â atau ini adalah permainan dewi asmara.
Sungguh aku membencimu, Â tapi perlahan, sangat perlahan. Pelan-pelan aku jatuh hati kepadamu. Kepada kebencianku kepadamu, kepada ketidaksukaanku kepadamu, kepada antipatiku kepadamu. Aku malu.
Sungguh, aku membencimu.
*****
Baganbatu, maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H