Terombang-ambing di permainkan gelombang, berharap nasip baik masih di ulurkan alam. Meneropong masgul kelaut dalam, mutiara, teripang, kakap dan kerapu telah hilang. Musnah di angkut orang ke seberang.
Demi sepicuk nasip hari ini, lautan hampa kembali di renangi. Lemparan jala berharap untuk bekal esok hari, anak istri menanti terucapkan doa untuk hasil lebih.
Di rembang petang, ombak datang mengusir nelayan pulang. Wajah daratan bak neraka membosankan, terbayang wajah-wajah memelas menahan rintihan.
Nelayan menangis. Laut menangis. Burung camar meraung lalu terbang tinggi, menyaksikan penderitaan ini sudah ribuan kali.
"Nenek moyangku mewariskan lautan. Nenek moyangku menghadiahkan kekayaan di laut dalam. Mengapa aku tak mampu mengais rezeki, mengumpulkan harta sendiri di syurga bahari".
Siapa yang salah di atas derita? Siapa tak amanah mengelolah harta berlimpah. Jaring dan pancing bagai hiasan nostalgia.
" Nenek moyangku pelaut. Gelombang dan angin pasang adalah jembatan, mengail rezeki di alam kemurahan Tuhan".
*****
Baganbatu, desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H