Menjelang senja, ritual mensucikan kesetiaan tergesa-gesa di adakan. Altar berisi persembahan rindu di hamparkan, segala jenis bayangan duduk menyembah waktu dengan ketakjuban. Gelap berjubah sutera emas menyaksikan, gemerincing kerisauan dengan tongkar sihirnya berdiri sombong menertawakan.
Senja benar-benar hadir memenuhi undangan, asap dupa setia mengiringi, kemenyan putih bertabur kembang setaman mengamini.
Satu persatu sakit itu mucul di kaki langit, terbang bak kilat menyambar hati, merangkak perlahan seakan tarian gadis belia menyilaukan. Sakit yang di dandani kenangan, kenangan yang menorehkan pedih tanpa perasaan.
Sekejap lagi senja berlalu, hitungan mundur di mulai dari percikan luka bercampur pedih, di ikuti tenggelamnya kesadaran merasa memiliki diri sendiri.
Mulai dari otak, hati, terasa mati. Merasakan siksa setiap senja memekikan aba-aba, menemukan diri di antara reruntuhan kenangan menghantui.
Kapan senja terakhir kali datang? Â baru lima belas menit dalam ingatan. Bukankah hadirnya menjelma setiap kali perasaan pedih ini terwakili. Menyiksa diri.
*****
Bagan batu, desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H