Sepenggal kisah berdurasi sekedipan mata, menajamkan rasa melalui pancaran netra mengulik lusinan peristiwa. Sakit yang meraung di kolong jembatan, rintih rasa lapar di bungkus dingin malam, perih terlunta dalam kerumunan jagat raya. Terbaca tanpa perlu bersusah payah, menyentuh batin tanpa harus menunggu kabar dari angin.
Rasa iba. Sekilas pernah singga dalam wadag manusia, bertahtah dalam nurani sungai putih berair jernih, bermula dari rasa, mengaliri segenap kesucian sebagai manusia, berakhir dengan memuncaki kesadaran "akulah hamba ALLAH yang di ciptakan sebagai khalifah cinta dan kasih sayang".
Adakah rasa iba itu masih ada? Benarkah percikan cinta dari yang maha mencintai masih kita pelihara? Ataukah kita telah menjadi mahluk dungu penyembah ketamakan yang tak berperasaan.
Jawabanku dan jawabanmu, biarlah menggenangi cerita rapuhnya dunia hingga akhir masa.
****
Bagan batu, 14 oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H