Akhirnya keadilan dicampakkan. Dilemparkan ke riam-riam kesadaran, terbungkus kabut gelap kepentingan, disamarkan antara kesucian dan kemunafikan. Terbelenggu dengan kata manis penuh polesan.
Aku marah! Kepada siapa?
Aku murka! Untuk apa.
Aku pasrah! Begitulah kenyataanya.
Aku muak! Jijik! Mengutuk! Tapi apa daya.
Keadilan bagai di awang-awang, tampak nyata dan indah dalam pandangan, penuh jebakan hendak meraihnya. Dipertontonkan dengan gaya dagelan, disuguhkan dengan aneka kebusukan sebagai bahan dasarnya.
Apa hendak dikata, tinggal menunggu keadilan Tuhan sebagai pamungkasnya. Tinggal menunggu kemurkaan Tuhan sebagai penutupnya.
Air mataku. Tak berfaedah.
Duka hatiku. Tak menyentuh mereka.
Keadilan seperti permainan bola di lapangan, oper kanan, oper kiri, masukan gawang. Dan kita? Hanya bisa berteriak dari kotak kaca persegi.Bagan batu, Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H