Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Kinanti, Jika Pertemuan Ini Terjadi [bag 1]

21 Mei 2020   06:17 Diperbarui: 4 Juni 2020   07:29 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Januari 1993. Dalam kenangan yang terlukis di dinding bayangan, wajah manismu tertunduk sendu teriris perasaan. Bening dua matamu, rona merah pipi yang di jilati senja temaram, menceritakan banyak hal tentang perpisahan, menyuarakan kata hati betapa beratnya menghadapi. Perpisahan ini, jarak yang membatasi, hingga takdir apa yang akan terjadi nanti.

"Kinanti, aku kan meninggalkanmu.  Hatiku kan menjauh sementara waktu, tabahkan dan tetapkan hatimu. Aku kan kembali suatu saat nanti." Pesanku yang tak jadi terucap, karena dua titik air matamu mencegahku, menciutkan nyaliku telah menjadi sebab kedukanmu. Aku pergi.

Maret 1998. Ini kabar duka untukmu, ternyata dewi sungai Musi telah menawan hatiku. Hadirnya perlahan mampu menggantikan bayangan rindu tentangmu, ketulusanya telah menutup mata hatiku tentang rasamu, dadaku bergolak antara penantianmu dan kenyataan takdirku. Dan ternyata suratan tangan berkehendak lain, penantianmu akan hambar di terjang angin, kesetiaanku yang kembali memutus takdir.

Kinanti, dua lembar surat telah ku kirimkan, tapi kembali karena salah alamat. Adakah dirimu telah mengetahui penghianatanku? adakah batinmu mampu membaca betapa rapuhnya aku.  Pasti engkau tersiksa, pasti engkau di dera kecewa. Ini salahku.

April 2002. Dalam temaram cahaya senja, sering ku terbayang wajah duka tengah menyiramkan air mata, menenggelamkan dirimu di antara kesetiaan dan jauhnya harapan. Kemalanganmu yang akulah penyebabnya, duka yang bertimbun duka akulah pangkal segala masalah.

Sering gelisahku menikam rasa sesal, tapi keadaan telah terpatri dalam bingkai lukisan tanpa amsal, siang ketika matahari bertanya tentang kesetiaan, malam pula menghadirkan jutaan mimpi tentang pengharapan yang engkau tumbuhkan. Antara ada dan tiada, antara nyata dan hayalan, namamu sering ku ucapkan dengan nada penyesalan. Aku menghianatimu.

Februari  2020. Di selimuti payung corona, kisah ini sepertinya menemukan muara. Setelah bentangan waktu merubah segalanya, uban telah tumbuh di kepala, tubuh ringkih menandakan semakin uzurnya usia. Satu yang ku akui tak juga hendak berubah, rasa sesalku telah mencampakanmu dalam pusaran derita.

Entah kata-kata apa yang hendak ku ucapkan bila kita bertemu nanti, setidaknya telah habis perbendaharaan aksara dalam mengembara, telah beku dada ini oleh rasa bersalah, telah kering kerongkongan oleh jeritan dalam diam.

Kinanti, di atas pusaramu kini aku bersimpuh. Engkau wanita yang perkasa tetap berdiri di tengah gelombang, tak goyah oleh terjangan derita dan badai yang menerjang. Hatimu telah mmbuktikan, bahwa setia dan cinta memang benar ada di dunia.

Kinanti, maafkan salahku.

Bagan batu, mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun