Suatu hari, disaat datangnya senja dan buramnya matahari, lelaki berperawakan gagah dengan bulu dada menandakan pemberani. Tanganya mencengkeram erat sekarung puisi, menyisihkan lembaran terjilit rapi, mencampakan kedalam api yang menyala bagai lautan tak bertepi.
Matanya sayu penuh emosi, wajahnya lembut menahan ironi.lembaran pertama dan terakhir menandakan puasnya hati, mencampakan perasaan dan kenangan, menghanguskan tulisan dan goresan. Tanpa penyesalan,tanpa beban.
Lelaki yang menulis puisi berulang kali, ciptakan jutaan diksi sebagai pembunuh sepi, mengorbankan kesendirian sebagai sesaji. Kini meringkuk dengan sepuluh jari menggenggam pedih, dadanya bergemuruh dengan bunyi yang tak ia mengerti, isi kepala mendidih tersebab api membakar serambi hati.
"Biarlah aku mati di tikam diksi, biarlah sengsara di sandera rima, biarlah aksara berubah wajah menjadi malapetaka." Bisikan itu berasal dari tangkai pena yang terbuang, bisikan itu terus berulang dari rekahan dinding yang berlubang.Â
Hingga senja menghilang, hingga serangga malam menghantar makanan, lelaki itu hanya duduk terdiam, menyaksikan abu sisa pembakaran terbang perlahan tertiup dingin angin malam. "Terbanglah menuju takdirmu, aku bukan abdi yang setia untuk menjaga amanahmu."
Lelaki gagah yang membakar puisi, mengusap air mata yang menetes di pucuk melati. Wajahnya tengadah menanti jawaban dari angkasa, sementara debu beterbangan menggandeng abu sisa pembakaran, memenuhi segala ruang, mengucapkan selamat tinggal dengan suara yang lirih nyaris tak terdengar.
Bagan batu, mei 2020