Perlahan bayangan wajahmu mulai memudar, manis senyumu, dua lesung pipitmu, hingga gambaran jernih dua matamu. Memudar seiring angin beredar, menguar dalam ruang imajinasi yang sulit di mengerti.Â
Baru tadi pagi kejadian ini terjadi, menyempal dari kebiasaan yang engkau lalui. Piring kotor berserakan di atas meja makan, dentang suara jam tak beraturan meningkahi kepanikan. Perjalanan melewati ubin putih terasa menyita seluruh energi, tangis yang tertahan, harap-harap cemas berhamburan, setiap ruang menampilkan jerit tangis bersahutan.
Genggaman tanganmu seperti menemukan ruang hampa, terpotong tirai cahaya, satu jiwa dengan dua dunia saling memperebutkan kuasa. Ini rasaku terakhir, ini mungkin batas antara memiliki dan merelakan.
Perlahan , sangat perlahan.
Samar-samar tangismu membekukan
Tapi jiwaku segera melesat meniti titik kecil penghabisan
Hanya namamu sempat ku eja dengan perlahan
W-U-L-A-N-D-A-R-I Selamat tinggal
Bagan batu, Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H