Pada sehelai daun krisan kedinginan, butiran sisa air hujan menggauli kesedihan. Noda hitam kembali tersamar, mengendap di balik butiran jernih kehilangan akal berpikir.Â
Berkelindan di antara dingin yang membekukan, beralih wujud seakan kesedihan hendak berakhir, berharap hujan menuntaskan hasrat untuk membalikan takdir.Â
Nauansa mendung menghias jendela kaca yang buram, percikan api sang surya bagai menjilati fatamorgana. Setelah rintik hujan berakhir seribu tahun yang lalu, butiran yang tertinggal berubah menjadi prasasti kesedihan.Â
Pertanda harapan semakin jauh meninggalkan, sejengkal demi sejengkal. Bayangan yang tercipta bagai lukisan maestro yang telah mati rasa, hampa tanpa kedalaman makna, tercerabut dari akar kesucian jiwa
Hujan, mendung, halilintar, kilat, dan semua yang mengiringi periode duka cita. Angin yang berputar-putar menciptakan ketidak pastian sementara, seribu satu tahun sesudahnya, yang tertinggal dan tersisa adalah cabikan rindu menyedihkan. Itu yang masih membekas dalam ingatan, itu nostalgia berwujud kenyataan, atau sebuah kenyataan yang telah menjelma menjadi impian
Tidak perlu kata untuk mengungkap dingin dan beku di rongga jiwa, bukan ucapan penegas makna bisa mengurai arti air mata. Suara-suara telah di gadaikan demi jerit tangis yang di wakilkan, suara-suara terakhir di penjara di ruang tenggorokan. Sampai bila masa hujan dan badai akan kembali datang menyapa, seribu, lima ribu tahun sesudahnya
Bagan batu 21 maret 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI