Telah sewindu aku di sini. Menanti bersama hembusan angin yang bertiup, termenung di pelataran ombak yang bergulung. Ritual harian siang dan malam, irama penantian yang membuat jiwa tertancap pada waktu dan tempat, enggan beranjak sebelum kabarmu memenuhi rasa ingin tahuku, tak mampu bergerak hingga suratmu menutupi rasa rinduku
Apa kabarmu di sana? Ku dengar berita engkau sedang gunda gulana. Terperangkap dalam ruang kerinduan terpisah luasnya samudera, terbentang jarak antara nyata dan hayalan, memimpikan dan menantikan saat-saat pertemuan itu tiba. Benarkah berita itu adanya? Burung camar hanya melintas setelah memberi kabar, tanpa kejelasan membiarkan hatiku terbakar
Surat untukmu telah ku kirimkan. Lewat angin malam yang bertiup perlahan, lewat butiran air laut yang sekian detik memecah kesunyian. Ku tuliskan tentang perasaan yang di sembelih kerinduan, tentang harapan perjumpaan sebagai pengobat penderitaan
Telah sewindu penantian ini ku lakukan, tapi surat balasan dari Milan belum aku dapatkan. Menderitakah engkau di sana? Nelangsakah hatimu di rajam ingin jumpa. Jika rindu itu menyiksamu, aku pun merasakan deritamu. Jika jumpa sebagai obatnya, akupun rela merenangi samudera
Bagan batu di awal bulan Maret.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H