Sore ini. Aku masih menuliskan sebait puisi tentangmu, kertas berserakan di lantai kamar, langit-langit ruangan di penuhi aroma kebuntuan. Begitu sulitnya mengeja kata, alangkah sulitnya menempatkan titik dan koma. Gambar wajahmu senantiasa menghias dinding kamar, tangis dan air mata seakan menenggelamkan seluruh angan
Engkau yang di balut kepedihan. Hijrah meninggalkan segala kemewahan, mengikuti arus keinginan untuk mewujudkan impian. Tapi aku telah memberangus asa, menguburnya dalam duka, menindihnya dengan kesedihan hati yang terus mendera
Badai itu tercipta dari salahku memaknai setia. Membiarkan dirimu rapuh di hempas curiga, mengoyak dan mencabik satu-satunya hati yang tak ku jaga. Engkau telah membuktikan arti kata  cinta, tapi aku meremukan dengan hianat pula. Kini badai itu telah tercipta. mengunjungi beranda hati setiap senja menjelma, memporak-porandakan serpihan bangunan yang sejujurnya telah renta dan menua, rapuh di gerogoti amarah dan prasangka
Kini ku tahu artinya nelangsa, membiarkan hati terbakar dalam tungku gelisah, menyerahkan nasip kepada permainan janji dan sumpah. Dan badai itu telah mewakili semua yang engkau rasa. Sedihmu, patah hatimu, amarahmu, bahkan semua impian indah yang berakhir dengan prahara
Maafkan salahku. Badai itu seharusnya menjauh dari hidupmu
Bagan batu, awal Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H