Melintasi kota ini, dengan jendela buram berjeruji, menandakan perjalananku yang keseribu kali. bersentuhan dengan pagar halaman yang muram, bertegur sapa dengan tiang lampu taman yang bercahaya semakin temaram.
Semua membeku dalam diam, memandang dengan bahasa tatapan yang merindukan, tak mampu menggerakan perasaan untuk memberi dan menerima peluk kehangatan. Tersiksa di balut dingin hembusan angin tenggara, menatap dan meratap tidak lagi jauh berbeda
Menjelajah kota ini, menemukan sekeping kenangan yang tersangkut pada peron perlintasan, menunggu ketika dahulu namamu tersiar lewat pengeras suara menggetarkan. aku duduk di bangku taman menghadap air mancur yang menari pelan, seperti hendak membisikan kelelahan yang tak tertahan, bertahun-tahun memberi pertunjukan tanpa ada riuh tepuk tangan. sepi ku rasakan, begitu bisik lirih segerombolan rumput liar berbisik di ujung sepatu, berhadap-hadapan dengan batu kerikil kecil yang berlumut dan hampir tenggelam dalam kesendirian
Ruang-ruang keluarga telah kehilangan keceriaan, lantai-lantai berubin mewah telah lama jadi persinggahan debu dan sampah, langit ruangan yang sepi dari gelak tawa. semua lenyap seiring  bulan penanggalan yang terus berganti. dari februari ke februari, dari melukai hingga menghianati.
Seperti februari tahun kemarin, ku penuhi janjiku mencicipi sepi hingga februari tahun ini berakhir. tanggal dua puluh lima sudah hadir, sekian detik lagi ku genggam kesendirian menjalin kenangan. kota ini mungkin terlanjur memuja sunyi, hingga dinding-dinding bangunan seperti enggan merekam detak jantung yang memompa kerinduan. februari segera berakhir, tapi kenangan kota ini baru lagi menyelimuti memoriku dengan takdir
Bagan batu di bagian akhir februari