Bersama rintik hujan bulan pebruari, aku datang mengunjungimu di lorong sunyi bangunan mimpi, memanggul gulungan rindu yang mulai menua di hempas zaman, menyeret dengan langkah tertatih jejak kenangan yang tiada berbentuk lagi. Tercabik- cabik batu padas penantian, merintih terhujam ranting-ranting tajam rasa kesepian, bahkan tubuhku hampir rapuh di telan jauhnya perjalanan
Aku datang tepat sebelum engkau menyeka air mata yang menyiksa. Lebih sewindu penantian ini engkau pelihara, garis-garis membentuk jeruji penjara membelenggu jiwa.  Engkau panjatkan pinta pada penguasa hati, engkau sulamkan permadani  mesra di setiap mimpi.Â
Kini aku telah menjelma di hadapan rasa ingin memiliki, menawarkan kepadamu telaga biru tempat dua rasa kita kelak akan menyatu. Selamanya, seperti inginmu tetap lelap dalam dekapan cinta dan rindu yang utuh
Dalam kelebat senja tempat segala gunda engkau tumpahkan, semburat warna jingga membentuk siluet indah di langit selatan, aku mengajakmu menyusuri jalan penuh bunga menuju kaki cakrawala, menghirup aroma bahagia anugera sang pencipta. Tanpa duka, tanpa air mata. Tiada hati tersiksa, tiada jiwa yang merana di sandera gelisah
Datangku untuk hatimu, hadirku menggenapi rasa rindumu. Seperti janji yang terikrar di puncak merapi, seperti sumpah yang mengatas namakan sang penguasa alam semesta, nyataku bersama rintik hujan di bulan pebruari
Bagan batu, di kesempatan menemuimu
Catatan:
Terkhusus untuk semua sahabat di Kompasiana, mohon maaf karena kesibukan membuat sulit bertegur sapa dan melakukan kunjungan. Padahal rindu itu hampir menewaskan perasaan dan jiwa.
Salam hormat selalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H