Barisan rumpun waktu mengingatkanku akan sesuatu, peristiwa lama kembali hadir menempel di ujung pucuk daun singkong. Berkelebat wajah lembut dengan senyum menebarkan harum, sekejap kemudian hilang melayang seiring rintik hujan membasahi
Tiap kali ku pandang pasti akan datang, setiap ku ingat pasti bayangan itu mendekat. Entah pagi entah senja, ada cehaya bahkan dalam gelap gulita. Bayangan dengan senyum yang sama kembali hadir, berulang dan terus berulang, hingga aku merasa tiada dan ada tak berjarak adanya
Entah berapa tangan hendak memetik pucuk daun singkong, entah berapa kali petir halilintar menggoda ingin memiliki. " jangan! Itu adalah kenanganku. Tempat aku menemukan wajah ibu, tempat aku merasakan kasih sayang dari tatapan penuh kehangatan. Ibu"
Mungkin suatu saat nanti di zaman yang telah berganti, aku kan menemani ibu di pucuk daun singkong. Memeluk dan mencium penuh kasih sayang, bercerita dan berbincang tentang banyak hal. Kenakalanku, kedunguanku, kecerobohanku, kemalasanku. Ibu hanya tersenyum memandangku
Ku pasang papan pengumuman dengan hurup kapital, warna merah menyala agar mampu membakar mata," JANGAN ENGKAU PETIK PUCUK DAUN SINGKONG. SEBAGAI GANTI AMBILAH YANG ENGKAU MAU DARI APA YANG KU MILIKI"
Setiap hari adalah hari ibu, setiap saat adalah bakti untuk ibu. Setiap tarikan nafas bahkan ada deretan nama seorang ibu
Bagan batu, seperti ketika itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H