Angin berputar menyapa ingin, dahan-dahan bergoyang seiring irama alam, ranting-ranting kecil saling berpegangan dalam diam. Semua sedang menunggu takdir,sehelai daun mana yang akan menjumpai akhir
Sehelai daun pamit dengan nada sendu, tak ada air mata sebagai tanda berpisah, mulut terkatup tak ada suara sebagai pembuka. Saatnya telah tiba, sehelai daun pasrah akan kodratnya, menjumpai kepastian kehidupan yang menemui akhirnya
Selamat jalan daun yang memenuhi janji hidupnya, mengabdi bagi alam tanpa pernah mengharap pamrihnya, siang malam meneduhkan suasana tanpa hiraukan kering pada tubuh yang semakin renta. Aku tak mendengar tangis berkepanjangan, hanya semilir angin yang mengiringi kepergian tak tertunda
Mengapa keikhlasan menjadi mahkota, sedang perpisahan adalah ritual mencabut kebersamaan menjadi kesendirian. Aku masih menangis mengisahkan kisah ini, sedang sehelai daun yang gugur di hembusan angin, melayang ringan menemui takdir. "Tidak perlu iringan duka cita, karena aku kan mengabdi ditempat lain"
Sehelai daun menampar kesadaranku sebagai manusia, kadang pongah memandang dunia dengan angkuhnya, menangis tersungkur hanya karena derita ternyata mencampakan jiwaku rapuh tanpa daya. lebih berhargakah sehelai daun yang pasrah menjemput takdirnya? daun itu menusuk hatiku dengan diamnya
Bagan batu 2 oktober 2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H