Engkau remukan siang dengan palu kesombongan, berjalan membusungkan dada karena berada, suara menggelegar bagai sang halilintar mengusai hujan. Remuk redam bahkan kepingan debunya tak tertinggal, hilang di sapu bayu, lenyap di semak belukar pikiran
Siang menangis panjang, topeng-topeng penutup wajah mulai lekang. Keringat dusta mengering di jalanan aspal, caci maki membubung di gedung yang menjulang. Engkau terlena angin sepoi-sepoi, engkau terlupa hadirnya diri, siang telah remuk di peradaban
Jerit tangis bekeliaran di gendang telinga, rasa miris menerobos di antara laci-laci meja. Tiada yang tersentuh walau itu mengundang pilu, tiada yang merasa walau itu mengundang iba. Semuanya hambar membentur keangkuhan
Meniti siang dengan menghancurkan terang, tempat menyembunyikan kebobrokan dari pandangan. Senyum di wajah sebagai hiasan, tutur kata manis tak lebih hanya sekedar ucapan
Bagan batu21 juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H