Kuasa adimarga kian mendera berpacu dengan kerasnya dunia. Kami pengembara berlarian menembus angan jiwa, demi sebuah asa tanpa kuasa.Keras dunia kami terima, tanpa ada kata tidak. Ikhlas dan lapang dada, menjadi kunci untuk berlari menggapai mimpi. Walau kami tak tahu ini mimpi atau ilusi, namun yang pasti akan terus berlari.
Kami tercecer di penjuru kota, tanpa ada sanak saudara. Jerit kesakitan kian mendera, saat lapar dan dahaga meronta. Aroma bau bacin kian menusuk, Â terhirup sengaja bersama nafas yang mulai melemah. Menyembunyikan nafas sekarat, menyembul tulang rusuk berkarat Dalam khayal gelap nan pekat,
Kaki tak henti menyusuri, dengan tubuh ringkih yang masih berdiri. Walau aku tak berdaya, berpetualang bersama baju kusam dan sepatu usang. Namun mereka semua adalah saksi akan doa yang ku panjatkan pada yang kuasa, semoga selalu diberi waktu untuk tawadhu.
Biarlah atma menderita tanpa harta, tapi kami masih punya adab dan etika. Tak ingin berbuat dosa dan cela, demi bahagia semata. Ini semua mengajarkan arti kehidupan akan realita yang ada. Kini biarlah Tuhan mengatur segalanya, ikuti proses tanpa harus protes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H