Seorang lelaki peot berwajah lumayan bergesa menerabas waktu berkendara angin. Motor matic putih dalam tunggangannya berliak-liuk di lengangnya Jalan Pasteur. Dia seolah berpacu dengan waktu dan ngotot ingin mengalahkannya, meski itu sia-sia.
Sesaat sebelum berangkat, sayap-sayap kemalasan memeluknya erat, membuatnya berat tuk beranjak. Andai saja dia tak ingat dengan janji yang tak terucap, mungkin kau akan mendapatinya tengah terlelap dalam petak kamarnya berkejap-kejap.
Pun iri bergelayut di setiap ranting rasa dalam belantara jiwanya. Dia iri pada semua. Semua yang bernasib lebih baik dari dirinya. Semua yang sabtu minggunya bisa berlama-lama. Menghabiskan masa bersama keluarga. Sedangkan dia. Apa yang diperbuatnya? Duduk tercenung membunuh waktu, dalam ruang-ruang berpintu. Demi sebuah gelar Es Satu. Yang akan bersanding indah dengan namanya. Nanti, di suatu waktu.
Sepuluh menit sudah dia berkendara dari sebuah kawasan padat penduduk bernama Cibarengkok yang jalanannyasempit serta berkelok. Tujuannya siang itu kampus satu. Tempat dimana setahun terakhir dia menuntut ilmu.
Dan motor tak bergigi itu masih dikendalikan oleh sebuah ketergesaan yang bersemayam dalam benak si pengendara. Melaju bak kilat dengan kecepatan hampir melewati ambang batas speedometer. Dari sudut pandang pejalan kaki di trotoar, kuda besi itu nampak melayang. Begitu lekas, hingga mungkin hanya tuhan yang sanggup menghentikannya. Sebelum akhirnya dia benar-benar terhenti. Oleh sebuah lampu merah di perempatan.
“Kampretttooo! Ada-ada saja. Gak tau apa orang lagi buru-buru.” Umpatnya sembari menekan dua handle rem di kanan-kirinya keras-keras, seolah gemas.
“Sial, sial, siaaaaallll…!!!” Dia berteriak tertahan sambil menggebrak-gebrak stang. Pengendara lain yang terhenti bersamanya, hanya mengerling sinis.
Dicabutnya smartphonedari saku celana chinonya yang ketat. Sepasang matanya berusaha menemukan kombinasi angka di deretan layar berukuran 2 inci bersinar redup. Lalu terhenti pada kombinasi angka 13.15.
“Arrggghhhh telat! Sialan.” Lagi-lagi dia kesal.
Dan tatkala dia sadar bahwa di lengan kirinya tersemat sebuah penunjuk waktu bermerk casio, kekesalannya membuncah. Hampir saja luber, melelehi ubun-ubunnya.
“Ngapain juga ane cape-cape liat jam di BB. Kan tinggal liat di sini.” dia menggerutu seraya telunjuknya mengarah ke jam tangan itu.