Mohon tunggu...
Rachmat Sonjaya
Rachmat Sonjaya Mohon Tunggu... -

Penulis yang PNS, PNS yang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Love Is Faith

24 Februari 2014   16:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta, baginya adalah manifesto keyakinan. Keyakinan yang disandarkan pada sebuah firman tuhan. Yang tersampaikan melalui lisan para utusan. Bahwa setiap mahluk yang telah diciptakan, ditakdirkan untuk berpasang-pasangan.

Begitu pula pernikahan. Baginya bukan hanya rangkaian acara seremonial tanpa makna. Lebih dari itu, pernikahan adalah pengejawantahan rasa cinta kepada role model sekaligus idolanya. Muhammad SAW, sang penutup para anbiya.

Lihatlah dia sekarang. Seperempat abad lebih sepuluh tahun usianya. Dan dia masih setia menetapi kesendirian. Bukan ketiadaan penyebab kesendiriannya. Bukan pula ketak elokan. Dia yang sendiri percaya, bahwa kesendiriannya adalah proses untuk tidak sendiri.

Dia adalah Shamita. Perempuan yang masih saja berparas imut di usia nya yang tak lagi remaja. Aku bahkan harus iri dengan kelebihannya itu. Mungkin kau pun kan merasa demikian jika suatu saat bersua dengannya.

Aku mengenalnya sejak 17 tahun lalu, saat kami masih sama-sama bersekolah di salah satu SMA Negeri di Bandung. Dia dan aku, mulai akrab saat kami kompak menenggelamkan diri dalam aktivitas OSIS, Pramuka dan Rohis.

Sha, begitu dia biasa kupanggil adalah sosok pribadi yang unik dan menarik. Dari sisi penampilan, bagiku dia tidak bisa dibilang tidak cantik. Karena dia adalah seorang perempuan. Lagipula cantik kan relatif. Selain itu, dia juga pintar. Pintar dalam pelajaran dan pintar dalam menarik perhatian. Dia lucu, supel dan tempat bermuaranya curahan hati teman-temannya. Sha, sha aku kangen. Rasanya sudah lama sekali kita tak berjumpa.

Tentang kesendiriannya, suatu malam aku pernah memberanikan diri bertanya via Facebook Messenger di BB Armstrong milikku. Kebetulan saat itu aku memergokinya ada dalam deretan teman yang sedang online. Dan itu adalah mukjizat. Bagaimana tidak. Dia bukanlah tipikal orang yang senang menghabiskan waktu berlama-lama di sosial media. Dia adalah tipe pekerja. Dan tentu ber facebook ria bukanlah prioritasnya. Mendapati anomali itu, aku justru senang. Ini berarti kesempatan bagiku untuk mengingatkan kembali tentang statusnya.

Jujur aku agak segan dan tak sampai hati untuk mengutarakannya. Aku takut dia salah persepsi, lalu sakit hati. Tapi ini tetap harus kutanyakan. Ini adalah bentuk kepedulianku padanya. Aku tak rela dia menjadi objek penderita penghakiman masyarakat. Yang kadung dirundung stigma negatif bahwa perempuan yang sudah melewati “usia ideal” untuk menikah itu tidak laku. Oh sungguh kau dan mereka yang berpikir demikian salah besar. Dia tidaklah sepi peminat. Dia hanyalah produk limited editiondari jenisnya yang siap dipinang oleh penawar tertinggi.

“Assalamualaikum. Bu guru apa kabar? Aku kangen, hiks!” kataku memulai obrolan.

Tanpa kuduga dia langsung merespon. Ini adalah kejaiban yang lain. Biasanya tak sekalipun dia pernah membalas pesan atau komenku. Mungkin kali ini aku sedang beruntung. Aku terkekeh sendiri di dalam hati.

“Waalaikumsalam warohmatullahi wa barakatu. Eeeh ada Pak Lurah. Seperti kata Pingkan Mambo aku baik-baik saja. Bdw jangan kangen padaku lho, dirimu kan sudah buntutan. Ntar ada yang marah lagi.Bisa perang dunia ke-3. Hahahaha.” katanya berkelakar. Dia memanggilku Pak Lurah karena aku adalah karyawan pelat merah bergolongan dua di salah satu Kelurahan di Kota Cimahi. Buntutan = berkeluarga

“Hahahaha, kau memang paling ahli membuatku terpingkal Sha. Rindu sama orang rumah sih tinggal pulang. Kalau rindu padamu, kemanakah kan kucari penawar :p”

“Wkwkwkwk dasar gembol, eh gombal. Pantesan si Bunda sampai terperdaya.”

‘Aku gitu loh. Hati-hati dirimu bisa terpikat juga, lalu jatuh cinta diam-diam.”

“Jatuh cinta diam-diam? Bagus tuh novelnya. Dah baca?”

“Heh aku gak lagi ngomongin Dwitasari. Ini tentang kamu.”

“Aku? Ada apa denganku? Ada yang salah?”

“Ini bukan tentang benar dan salah. Ini tentang kepedulian, Sha!”

“Hah, what the maksud? Pujangga wanna be nya kambuh lagi nih.”

“Eh ini serius lho.”

“Terus?”

“Tapi sebelumnya aku mau minta maaf.”

“Apaan sih, serius amat. Si Amat aja ga serius.”

“Becanda mulu ih. Serius nih serius.”

“Iya iya. Sensi beud :p”

“Aku mau minta maaf  kalau apa yang akan kutanyakan menyakiti perasaanmu. Sungguh aku tak bermaksud begitu.”

“Mana mungkin aku sakit hati, kan belum ngomong.”

“Terserah, yang jelas aku mau minta maaf. Sha,”

“Hhmmmhhh…”

“Kamu gak pernah berfikir tentang pendamping hidup?” kataku to the point.

“Haduh tentang itu lagi. Jawab gak yaaa…”

“Ayolah!”

“Ya pastilah aku memikirkannya. Naif dan munafik kalau aku bilang gak pernah. Tapi proporsional aja sih. Gak pernah tuh sampai terlalu serius hingga lupa makan, minum dan bernafas. Sudah kukatakan berkali-kali padamu, juga pada semua orang yang bertanya hal yang sama padaku. Jodoh itu sudah ada yang ngatur. Tak usahlah kau gusar dengan hal itu.”

“Aku tak gusar. Aku kan sudah berjodoh. Yang harusnya gusar itu kamu”

“Lho kenapa jadi aku? Dan kenapa harus?”

“Tuh kan marah. tadi kan sudah minta maaf L

“Aku gak marah koq. Emang keliatan ya kalau aku lagi marah?”

“Ya enggak sih. Tapi barusan suara notifikasi nya kenceng banget. Hampir teriak malah. Kirain itu luapan dari gelombang amarahmu :D”

“Hadeuh jangan mulai deh ah. Jadi begini ya, Pak Lurah. Aku, Shamita yakin seyakin-yakinnya bahwa dia yang telah ditakdirkan Nya untuk menjadi tulang punggungku sudah ada. Walau entah dimana, aku pun tak tau. Mungkin dekat, mungkin juga jauh. Yang jelas dia ada di suatu tempat di bumi ini, titik!”

“Lalu kenapa kau tak berusaha mencarinya?”

“Kepo ih. Mau tau aja atau mau tau banget, nget, nget?”

“Jawab aja, jangan buat temanmu ini tidur penasaran :p”

“Mati penasaran keleeuuus.”

“Aku kan belum mau mati. Seperti Bang Chairil bilang, aku mau hidup seribu tahun lagi. ”

“Whewwww. Duhai, sungguh pandai engkau bersilat lidah Pak Lurah.”

Pettt! Sesaat sebelum kujawab, bulatan hijau di ujung kanan atas sebagai pertanda dia sedang online berubah kelabu. Pesan yang kukirimkan kemudian, harus puas dengan status off line. Aku jadi tak enak hati. Jangan-jangan dia benar-benar sakit hati.

Namun kekhawatiranku pupus seketika oleh sebuah sms.

Sorry, paket internetku habis. Ntar disambung lagi deh kalau dah isi pulsa ^_^ (Shamita)

Sha mengirim sms itu dengan nomor berbeda dari yang biasanya dia pakai.

Ah kirain marah. Oke deh, met istirahat aja. Cu! Jawabku singkat.

Saat itu malam sudah pekat, udara terasa sejuk menusuk. Suara binatang nokturnal bersinergi indah dengan desir angin malam dan gemericik air selokan di samping rumah. Pukul 22.00 dan aku sudah mengantuk. Kucium kening anak dan istriku yang sudah lelap sejak ba’da isya. Sempat kureguk secangkir mochaccino yang tinggal setengah, sebelum akhirnya aku bermigrasi ke alam mimpi.

***

Waktu berlalu, masa berbilang sejak pertemuan yang super duper singkat di dunia maya itu. Setelahnya aku belum pernah sekalipun berhubungan lagi dengannya. Komunikasi kami mandeg. Dia menghilang dari konstelasi pergaulan. Lenyap bak ditelan bumi. Janjinya untuk melanjutkan obrolan tempo hari tak pernah ditepatinya. Mungkin itu semacam intrik agar dia bisa terbebas dari jerat kekepoanku. Kuduga dia tak ingin sektor privasinya diintervensi. Dan kukira itu wajar.

Rasa bersalah, takut dan khawatir menyergap benakku dari berbagai penjuru. Datang bersamaan dengan sepasukan rindu yang menyerbu kalbu. Ah kenapa aku merindunya? Dengan posisiku sekarang, ini sungguh salah dan tak masuk akal. Tapi bukankah cinta bukan untuk dirasionalisasikan? Hey kenapa kau memandangku seperti itu? Oh tidak kawan. Aku tak seperti yang kau perkirakan. Tak mungkin aku terperosok ke dalam jebakan cinta yang absurd. Lagipula ini tentang dia, bukan aku.

Lalu bagaimana dengan ketiadaannya? Apakah ini berhubungan dengan pembicaraan terakhir kami? Mungkinkah dia tersinggung dengan ucapanku? Ooh Sha, jika memang demikian aku sekali lagi minta maaf. Bukankah sebelum pertanyaan itu kuajukan aku sudah minta maaf? Lalu kenapa kau...? Aahhh, sungguh aku minta maaf Sha. Sudilah kiranya kau mengampuniku jika kelak kita bertemu.

Fikiran-fikiran negatif mulai merasuki dan menghantuiku. Aku bahkan hampir paranoid. Aku takut sesuatu yang buruk menimpanya. Aku takut keyakinannya akan cinta mulai goyah. Lalu luluh lantah diterpa badai persepsi yang menghakimi. Aku takut dia mulai sangsi, akan kesendirian yang dia jalani. Aku takut dia bersepakat dengan maut, melalui kehidupan yang direnggut. Demi berjumpa dengan sang Maha Cinta. Untuk langsung mempertanyakan kebenaran firman Nya akan keberpasangan. Ah tapi rasanya tak mungkin dia berbuat sekonyol itu. Aku dan kau sama-sama tau, dia bukan pribadi yang mudah menyerah. Dia itu Wonder Woman in a real life. Ditambah lagi dia adalah pionir dalam hal kesalihan dan kebertuhanan. Putus asa niscaya bukan pilihannya dalam menyelesaikan masalah.

Saat keingintahuan ku akan keberadaannya semakin memuncak, tak disangka pada sebuah siang antara waktu dzuhur dan ashar dia menghubungiku via BBM. Aku jadi salah tingkah. Ada rasa aneh yang sulit kujelaskan menelisik dan menggelitik dalam jiwa. Rasanya mirip seperti anak ABG yang akan bersua pujaan hatinya. Dag dig dug tak menentu. Ah sialan, aku benci berada dalam situasi ini.

“Assalamualaikum...”

“PING!”

“PING!”

“Waalaikum salam. Pang ping pang ping. Kemana saja heh? Masih hidup rupanya.”

“Aduh sembarangan ya ngomongnya. Ntar dicatet sama malaikat lho”

“Ya maaf, hehehe. Habisnya kamu sih.”

“Kenapa emangnya? Kangen ya? Bundaaa, ada yang kangen nih. Ups!”

“Beuh geer banget ni anak. Siapa lagi yang kangen. Sorry ya.”

“Terus apa donk?”

“Hampir dua bulan gak ada kabar. Ditelepon di luar jangkauan mulu. Bertapa dimana sih?”

“Hahahaha. Maklum orang sibuk.”

“Serius sha. Aku khawatir tau.”

“Cie ada yang khawatir xixixi”

“Malah becanda. Serius donk ah.”

“Iya deh aku jujur. Sebenernya dua bulan terakhir ini telepon memang sengaja tak kuaktifkan. Soalnya aku lagi sibuk jadi relawan. Gabung sama temen-temen EFA Indonesia buat ngajar anak-anak di pengungsian akibat erupsi gunung Sinabung.”

“EFA? Nama cewek tuh :p”

“Dasar playboy cap bango, pikirannya cewe mulu. EFA itu akronim dari Education For All. Sebuah NGO yang aku dan beberapa rekan guru dirikan. Tujuannya untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.”

“Wow berat lah bahasannya. Kau tak pernah berubah ya sha. Masih saja seorang organisatoris sejati. Aku kagum dan iri padamu.”

“Ah biasa aja koq. Aku Cuma ingin mencoba berkontribusi untuk kebaikan bangsa ini sebisaku. Ya setidaknya ini yang baru bisa kulakukan. Ayo atuh gabung. Bukannya pernah bilang ya bahwa mengajar adalah passionmu juga?”

“Pengen sih, cuma untuk saat ini kondisinya belum memungkinkan kayanya.”

“That’s ok. Aku tunggu lho!”

“Ok. Yang jelas aku seneng kamu baik-baik saja. Andai kau tau, semenjak perbincangan terakhir waktu itu aku selalu dirundung rasa bersalah.”

“Bersalah kenapa pak? Aneh ih!”

“Ya aku takut kamu marah waktu aku tanya soal pasangan hidup.”

“Ah kamu ini ada-ada saja. Woles aja lagi. Aku tak pernah mempersalahkan soal itu. And gues what? Aku sengaja menyapamu siang ini untuk menyampaikan sesuatu yang akan menjawab pertanyaanmu selama ini.”

“Apaan?”

“Beneran mau tau? Jangan kaget ya.”

“Iya apa? Cepetan, jangan sampai aku mati penasaran untuk kedua kalinya.”

“Hiiiii, hantu donk. Hmmmm, insya Allah kalau tidak ada aral melintang aku akan segera mengakhiri kesendirianku.”

“Maksudnya menikah?”

“Iya. Doain ya!”

Aku bak tersambar petir di siang hari mengetahui informasi itu. Sebuah kenyataan yang menyesakkan. Sungguh dilematis. Di satu sisi, sebagai sahabatnya aku bahagia dia berhasil membuktikan keyakinannya akan kebenaran firman tuhan tentang keberpasangan. Ini sekaligus mematahkan persepsi mayoritas masyarakat termasuk keluarganya yang telah berpandangan negatif terhadap prinsip dan idealismenya. Namun di sisi yang lain, sebagai pengagum beratnya aku tak rela dia yang telah menempati posisi istimewa di hatiku jatuh dalam pelukan sosok lelaki lain. Meski aku sadar aku tak mungkin bersanding dengannya, karena aku telah menyerahkan hatiku sepenuhnya pada perempuan yang kini menjadi ibu dari anak-anakku. Tapi tetap saja tak akan ada yang sanggup menggantikan kedudukan spesial nya.  Oh tidak. Aku harus membuang jau-jauh pikiran seperti itu. Demi kebahagiaannya, aku harus merelakannya.

“PING!”

“PING!”

“PING!”

“Hey koq malah diam membisu? Kenapa kaget ya.”

Empat pesan BBM membangunkanku dari lamunan. Agak malas, kujamahi keyboard QWERTY di BB ku untuk membalas pesannya.

“Eeeh sorry, ini temen ngajak ngobrol.” Kilahku.

“Oooh. Untuk waktu dan tempat nya nanti aku kasih tau lagi ya. Sekalian ngasih undangannya.”

“Ok deh. Selamat ya. Aku turut berbahagia untukmu. Kalau boleh tau, siapa lelaki beruntung yang telah meluluhkanmu?”

“Keci tau gak ya.”

“Hmmmm...”

“Hahahaha. Dia Respati. Rekan sesama relawan di pengungsian.”

“Gitu ya. Orang mana?”

“Orang Bandung juga. And you know what? Ternyata dia kakak kelasku sewaktu di UPI dulu.”

“Wow, what a small world ya sha? Benar katamu, jodoh memang sudah ada yang mengatur. Dan kita tidak pernah tahu keberadaannya hingga kita menemukannya di tempat yang tidak tak terduga.”

“Iya. Aku juga tak pernah mengira sebelumnya kalau aku akan menemukan pasangan hidupku di sana. Ini semua tak lepas dari skenario yang telah ditulis Nya.”

“Pokoknya sekali lagi selamat ya. I’m very very happy for you. Semoga semuanya dilancarkan hingga hari istimewa itu tiba.”

“Aamiin. Terimakasih ya. Kau memang bukan sekedar sahabatku. Lebih dari itu, kau telah menjadi bagian dari keluargaku. Terimakasih juga untuk segala perhatian yang telah kau curahkan. Kudoakan semoga kau bahagia.”

“Thanks sha. Ah kenapa jadi pengen nangis ya? Hiks.”

“Itu artinya hatimu lembut dan peka. Aku tau benar karaktermu ;)”

“Hehehe. Bdw sekarang posisi di mana?”

“Lagi di Bandung koq. Rehat sekalian mempersiapkan buat hari H. Nanti kalau ada waktu kita silaturahmi yuk. Aku ingin memperkenalkan Respati padamu. Jangan lupa bawa bunda sama si jagoan.”

“Insya Allah.”

“Gitu aja deh. Sorry gak bisa berlama-lama. Kebetulan ada aktivitas lain yang harus kukerjakan. Salam buat anak dan istrimu.”

“Siap bu guru. Pasti akan ku sampaikan. Sampaikan juga salam hormatku padanya ya.”

“Ok ok ok. Capcus ah. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Siang beranjak sore saat percakapan itu berakhir. Suasana kantor mulai lengang. Pada jam-jam seperti ini tingkat kunjungan masyarakat untuk mendapat pelayanan di Kantor Kelurahan memang sudah menurun. Kulihat dua orang rekan di sampingku sedang asyik berselancar di luasnya bahtera dunia maya. Sedangkan satu orang rekanku lainnya nampak cekatan menggerakkan penanya pada sebuah buku register surat masuk. Aku sendiri masih tercenung di depan sebuah layar berukuran 14 inchi. Dalam benda berbentuk persegi itu samar terpantul seraut wajah nan muram. Kau tau siapa pemilik wajah itu? Dia adalah aku.

***

Sebuah panggilan masuk memecah kesunyian. Saat itu hampir malam. Aku baru saja pulang menjemput istriku dari tempat kerjanya di sekitaran Alun-alun. Belum sempat kulepas jaket kulit yang melekat di badanku yang tipis. Belum sempat juga kutanggalkan sepatu converse hitam dari kakiku. Kucabut telepon dari saku celana jeans slimfitku yang mulai belel. Pada layar BB ku yang redup kulihat sebuah nama, Shamita. Ya, dialah yang meneleponku. Aku heran, ada apakah gerangan dia tiba-tiba menelepon? Apakah ini tentang hari pernikahannya? Tak menunggu lama, segera kujawab panggilan itu.

“Hallo assalamualaikum...”

“Haaalllloooooo, waalaikumsalaam.” Suara di balik telepon terdengar bergetar dan tertahan. Seperti orang yang sedang menangis.

“Ada apa sha?“ dia tidak menjawab pertanyaanku. Yang kudengar selanjutnya hanyalah suara tangis yang membahana.

“Sha, ada apa sha? Kenapa nangis? Sha, sha...” kataku berulang-ulang.

“Respati mad, Respati.” Katanya diselingi tangisan yang mengiris.

“Iya ada apa dengannya? Apa yang terjadi sha?” aku semakin penasaran.

“Dia, dia, dia sudah pergi mad.”

“Hah, apa maksudmu dia pergi? Memangnya dia kemana sha?”

“Respati telah pergi menghadap penciptanya mad. Dia sudah meninggal. Siang tadi tim BNPB menemukannya bersama korban awan panas erupsi Sinabung lainnya.”

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Respati. Yang tabah ya sha. Aku turut berduka cita. Kapan almarhum dievakuasi ke Bandung?”

“Insya Allah secepatnya. Sekarang urusan administrasinya sedang dibereskan. Aku mohon do’a dari semuanya. Aku juga mohon maaf jika selama hidup almarhum pernah berbuat salah, khususnya padamu.”

“Jangan bilang begitu sha. Aku do’akan semoga almarhum diampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya, dimudahkan hisabnya dan ditempatkan di tempat mulia di sisi Nya.” Terbata-bata aku mengucapkannya.

“Aamiin. Terimakasih ya mad atas do’a dan dukungannya. Semoga tuhan menguatkanku dalam ujian ini.”

“Iya sama-sama sha. Aku yakin kamu kuat dan mampu melalui semua ini. Yang sabar ya sha, yang tegar. Kamu pasti bisa”

“Terimakasih ya mad, terimakasih. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam...”

Aku menghempaskan badanku pada sebuah kursi sudut butut di ruang tamu. Aku mencoba mempercayai kejadian yang baru saja kualami. Agar tenang aku memejam sesaat lalu kuhirup nafas dalam-dalam. Namun semua sia-sia. Air mata kesedihan tak terbendung lagi. Mengalir deras dari sepasang netraku, membanjiri seluruh wajah dan leherku. Aku menangis sesenggukan. Istri dan anakku ku yang mendapati diriku dalam keadaan seperti itu nampak heran. Spontan mereka menghampiriku, lalu duduk di kanan dan kiriku.

“Kenapa yah? Koq nangis?” tanyanya sembari memelukku.

“Shamita barusan telepon bun.” Kataku sambil terus saja menangis.

“Ada ada apa dengannya yah? Apa yang terjadi?”

“Calon suaminya meninggal dunia tadi siang.”

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Gak nyangka.”

Kami spontan berpelukan. Anak lelakiku yang sedari tadi menyaksikan drama itu terlihat bingung dengan perilaku ayah dan bunda nya. Dia pun latah ikut larut dalam haru. Menyatu dalam pelukan kesedihan.

***

Langit begitu pekat pagi itu. Sang raja siang nampak bersembunyi di punggung awan. Sinarnya begitu redup, seolah ikut berempati dengan apa yang terjadi. Disertai hujan rintik dan parade tangisan, kami mengantar Respati ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ketegaran nampak terpancar dari wajah Shamita yang saat itu berbalut pakaian dan jilbab serba hitam. Namun matanya yang sembab tak sanggup menutupi kesedihannya yang mendalam. Di sebalik sosoknya yang selalu nampak tegar, aku yakin sebagai manusia biasa dia juga berhak untuk berduka.

Aku tak tau pasti apa yang sedang dia rasakan saat ini. Yang jelas jika yang berada dalam posisinya adalah aku, jujur ku tak kan sanggup. Karena ujian ini bagiku terelalu sulit. Bagaimana tidak. Sesuatu yang diimpikan selama hidupmu dan sudah berada di ambang mata direnggut tiba-tiba? Meski yang merenggutnya adalah tuhan sekalipun, aku yakin kita semua akan kecewa. Butuh kekuatan dan kesabaran ekstra untuk menghadapi dan melaluinya. Dan aku yakin dia, Shamita punya kapasitas untuk itu. Karena sekali lagi cinta baginya adalah manifesto keyakinan dan cerminan keimanan.

Selamat jalan Respati, semoga engkau tenang di alam sana. Selamat berjuang Shamita, semoga engkau mendapat pengganti yang lebih baik dari sisi Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun