Selama ini saya selalu mendapati bahwa mendalami cara pandang seseorang yang berbeda dengan kita itu sangat menarik. Dan dalam beberapa kesempatan membuat kita lebih bisa memahami pola pikir orang lain dan ujungnya mungkin membuat kita lebih bijak dalam bersikap.
Sebagai seorang muslim yang tinggal di negara Australia, seringkali kita harus sangat berhati-hati dalam memilih makanan. Daging babi jelas tidak bisa dikonsumsi sementara makanan lain yang menggunakan produk derivatif dari babi juga statusnya haram. Kalau kita memeriksa bahan-bahan penyusun makanannya, beberapa produk termasuk lumrah dipakai di Indonesia namun disini menjadi tidak jelas status kehalalannya seperti sosis, pizza, coklat, hingga ke yoghurt karena menggunakan produk yang tidak halal/tidak jelas halalnya.
Ketika mau membeli daging, saya meminta bantuan mbah Google untuk mencari merek-merek daging yang halal maupun jaringan distribusinya di Australia. Mbah Google memberikan jawaban yang cukup memuaskan, namun ternyata mbah Google juga menampilkan satu website yang justru berisi penentangan terhadap penerapan label halal untuk produk daging di Australia. Saya cukup penasaran untuk membaca argumentasinya hingga akhir dan menemukan beberapa pendapat yang menarik meskipun beberapa pendapatnya dilatarbelakangi kebencian yang tidak beralasan terhadap muslim.
Tulisan di website tersebut cukup panjang, dan setelah memaparkan secara panjang lebar mengenai makna syari’ah (sesuai yg ditemukannya) maka dia berpendapat bahwa daging halal itu sebenarnya tidak boleh dikonsumsi oleh non-muslim karena daging itu sebelum dipotong diberi do’a-do’a secara Islam dan dipersembahkan untuk Allah sementara dia tidak merasa bahwa Allah adalah Tuhan-nya sehingga dia tidak mau memakannya. Ini adalah pandangan yang menarik, karena sebagai seorang muslim saya juga berpikir hal yang sama namun dengan arah yang berkebalikan. Saya dan banyak muslim lainnya juga tidak mau jika daging yang dikonsumsi tidak dipotong sesuai ajaran Islam.
Kita seringkali lupa bahwa di dunia ini banyak yang berbeda pemahaman dengan diri kita dan semua harus kita hargai. Kita lebih sering memikirkan tentang ‘saya dan kami’ tanpa mau memikirkan ‘dia, mereka, ataupun KITA’.
Kembali ke laptop…eh…daging halal. Si penulis website mungkin lupa bahwa produk daging Australia tidak hanya dikonsumsi oleh “true-blue Aussie” yang tidak beragama Islam. Didalam kondisi dimana berlaku ‘costumer driven market’ maka mau tidak mau sebuah industri harus menyesuaikan bisnisnya sesuai dengan keinginan customer. Dalam hal ini Australia sebagai salah satu penghasil produk peternakan terkemuka di dunia harus juga menyesuaikan diri agar produknya diterima konsumennya. Produk daging Australia diekspor ke berbagai negara termasuk negara berpenduduk mayoritas muslim seperti kawasan Timur Tengah, sebagian Afrika, dan Asia Tenggara. Konsumen-konsumen ini tentu saja meminta agar produk yang disuplai sesuai dengan ‘spesifikasi’ yang mereka inginkan. Jadi wajar jika customer muslim menginginkan pemrosesan daging yang halal.
Disinilah letak diperlukannya sebuah label kehalalan. Bagi seorang muslim label halal akan menjadi semacam jaminan bahwa produk yang dikonsumsinya memang sesuai syari’ah yang diyakininya. Pun begitu juga untuk penganut agama lain yang tidak mau mengonsumsi daging yang dicap halal (dengan alasan yang dikemukakan oleh penulis website di atas) maka dapat menghindari daging yang dicap halal ini. Jika terjadi kenaikan harga sedikit karena masalah label ini, maka saya kira orang yang berusaha untuk menjalankan agamanya secara baik (muslim maupun agama lain) tidak akan keberatan. Si penulis website itu pun mengakui bahwa dia akan lebih mudah untuk menghindari produk halal jika ada label halalnya.
Pun di negara berpenduduk mayoritas muslim seperti di Indonesia, label halal ini menjadi penting bagi semua penduduknya. Dengan demikian masyarakat bisa memilih produk yang sesuai dengan keyakinannya secara sadar. Ini juga berlaku untuk masyarakat yang memeluk agama lain (Kristen, Buddha, Hindu, kejawen, dll). Jika mereka menginginkan daging/produk yang diproses sesuai dengan keyakinannya maka dipersilakan saja untuk melabeli produknya secara sesuai.
Gbr 1. Data Ekspor Daging Australia ke Indonesia (themeatsite.com)
Meskipun kelihatannya lebih rumit, namun jika hal-hal tersebut dapat memberikan ketenangan untuk seluruh pemeluk agama, mengapa tidak? Mungkin kedepannya kita akan melihat produk dengan label telah diproses secara halal, ataupun diproses sesuai agama Kristen, agama Buddha, agama Hindu, dan ada juga produk tanpa label untuk masyarakat yang tidak peduli/tidak keberatan dengan label. Perusahaan cat saja memproduksi jutaan warna untuk produknya, mengapa makanan tidak bisa?
Diversifikasi produk termasuk label terkait keagamaan akan semakin penting kedepannya. Meskipun ekspor daging Australia ke negara muslim masih kecil dibanding ekspor ke US, Jepang, dan Korea namun ceruk pasar ini tetap dimanfaatkan oleh pelaku industri di Australia. Jika mereka tidak bisa memanfaatkannya maka pelaku industri lain baik domestik maupun internasional siap untuk memanfaatkannya.
Satu pertanyaan yang sering menggelitik saya, apakah di Indonesia pun pemotongan hewan sudah dilakukan sesuai standar kehalalan?
PS: saya menulis lebih banyak tentang produk daging karena inspirasi tulisan ini muncul ketika mencari produk daging, namun bisa berlaku juga untuk produk makanan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H