Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY Cocoknya Jadi Pengamat [Dari Tanya Jawab Presiden dengan Wartawan di Istana]

13 Februari 2012   15:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak kurang dari satu setengah jam lamanya SBY menggelar tanya-jawab dengan wartawan dalam dan luar negeri di istana malam ini (Senin 13 Februari 2012). Ada sedikitnya 16 pertanyaan diajukan wartawan kepada peresiden, mulai dari kasus wisma atlit, kasus Bank Century, demo buruh, demo anarkis di daerah, pesawat kepresidenan, kasus GKI Yasmin, hingga kasus Dayak-FPI.

Sungguh, menyaksikan acara tanya jawab yang ditayangkan langsung Metro TV dan TV One itu terasa sangat membosankan. Praktis tidak ada solusi konkrit yang terukur yang ditawarkan sang presiden, selain mengulang-ulang pandangan dan sikapnya (peragu dan tidak tegas) yang sudah diketahui publik.

Soal kasus Nazarudin, misalnya, jawaban SBY hanya membuktikan bahwa Nazarudin tidak sepenuhnya berbohong ketika berkata sempat dipanggil ke Cikeas sebelum kabur ke luar negeri.

Soal kasus Bank Century, sama sekali tidak ada yang baru, selain mengukuhkan laporan audit forensic BPK bahwa tidak ditemukan penyimpangan kewenangan dan tidak ada kerugian negara yang telah terjadi.

Soal demo buruh, ini yang menyedihkan. Alih-alih memberikan solusi tegas dengan memaparkan apa sesungguhnya visi dan misi seorang presiden untuk mengatasi masalah konflik kepentingan buruh-pengusaha, SBY terkesan hanya asyik menjadi pengamat terhadap kisruh tersebut. Jawabannya sangat normatif, bahwa dia mendorong pihak terkait (buruh-pengusaha-pemda) untuk duduk bersama dan melaksanakan hasil kesepakatan.

Soal pelanggaran HAM terkait beberapa kasus orang hilang atau korban penculikan, SBY menegaskan bahwa dirinya tidak punya otoritas untuk menentukan apakah itu pelanggaran HAM berat atau bukan. SBY menyatakan bahwa itu tugas pengadilan dan Komnas HAM. Jadi, disini terkesan SBY memosisikan dirinya sebagai sub mitra lembaga-lembaga penegak hukum, bukan sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan untuk mendorong penegak hukum bertindak.

Selanjutnya soal GKI Yasmin. Sungguh jawaban yang sangat mengecewakan terutama bagi pihak GKI Yasmin, sebab SBY lebih mengukuhkan (membenarkan?) tindakan Wali Kota Bogor yang (berkoar) berpegang pada proses hukum.

Yang agak menggembirakan adalah jawabannya terhadap kasus penghadangan FPI oleh masyarakat Dayak di Kalteng. Terhadap kasus ini, meski masih dengan kalimat bersayap, ada tersirat ketidak setujuannya terhadap tindakan kekerasan yang biasa dilakukan oleh anggota FPI selama ini.

Pendek kata, sungguh tidak ada bedanya pernyataan SBY dengan pernyataan pengamat. Seorang presiden seyogyanya memberikan solusi nyata, terukur, dan tegas terhadap persoalan bangsa, sebab dia punya kekuasaan itu dari rakyat. Jika hanya bisa menyampaikan konsep-konsep normatif tanpa kemampuan berbuat, maka apa bedanya presiden dengan pengamat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun