Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruhut Digebah karena SBY Mulai Gerah dengan Sanjungan Si Poltak?

14 Desember 2012   15:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:39 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tak kenal Ruhut Sitompul, politisi pengacara, yang bangga menyebut dirinya sebagai Poltak Si Raja Minyak sesuai perannya dalam Sinetron Gerhana ini. Selain gaya bicaranya yang khas, ceplas-ceplos, politisi yang layak dijuluki sebagai politisi ‘kutu loncat’ (disertir Golkar) ini, makin terkenal karena sikap over confidence-nya ketika bersuara (memuji) tentang SBY.

Publik tentu masih ingat ucapan Ruhut (20 November 2009) yang banyak dikutip media saat kasus Bank Century sedang hangat-hangatnya mengemuka “Tidak ada kaitannya SBY dan Demokrat dengan aliran dana Bank Century. Kalau ada, potong kuping Ruhut Sitompul”.

Atau pujian-pujian alumnus FH Unpad ini kepada SBY dalam berbagai kesempatan di layar TV dengan sebutan “the founding father”, “sosok yang sangat demokratis”, “negarawan”, “tegas dan konsisten anti korupsi”, “kebapakan”, dan seterusnya, dan seterusnya…

Pendek kata apa pun komentar dan kritik orang terhadap Ketua Dewan Pembina Partai Democrat itu, Ruhut Sitompul selalu konsisten dengan pujian dan sanjungannya. Akibat ‘loyalitas’ yang membuta itu dia sempat dinilai oleh sebagian orang sebagai penjilat kelas berat.Sampai-sampai dalam suatu acara interaktif di sebuah TV yang mengulas fenomena Ruhut (tanpa kehadiran Ruhut di acara tersebut), ada seorang penelepon yang mengaku orang Batak dari Sumatra Utara yang berkomentar bahwa dengan menjadi penjilat bebal seperti itu Ruhut sudah mempermalukan orang Batak.

Tentu yang menarik dipertanyakan adalah “Suka dan senangkah SBY mendengar pujian Ruhut dengan beragam ungkapan mulia dan muluk itu?”

Jika SBY senang dan merasa terwakili suara hatinya oleh Ruhut pastilah si Raja Minyak itu akan mendapat tempat istimewa di hati Sang Presiden. Sebaliknya, jika SBY merasa malu disanjung setinggi langit oleh sosok sekelas Ruhut, mengapa sanjungan-sanjungan itu sampai ‘keterusan’ hampir 4 tahun lamanya? Tentu yang paling tahu jawabannya dalah SBY sendiri.

Yang menarik dan bikin heboh jagat pers dalam tiga hari terakhir ini adalah digebahnya (diusirnya) si Poltak dari kursi elit DPP PD yang dikomandoi Anas Urbaningrum.Tentunya, alasan pasti pencopotan itu adalah para elit PD sendiri, terutama Ketua Umum Anas Urbaningrum (AU).

Meski begitu spekulasi (kalangan luar) sudah berkembang. Ada yang menduga pencopotan itu disebabkan oleh pernyataan Ruhut yang makin gencar menyarankan agar AU segera mengundurkan diri dari kursi Ketum PD, menyusul ditetapkannya Andi Alfian Malarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang oleh KPK.

Faktanya, alih-alih saran Ruhut diikuti oleh AU, justru dirinya dicopot dari jabatanKetua Bidang Komunikasi dan Informatika DPP PD. Meskipun pencopotan itu konon hanya sementara, karena Ruhut akan dicarikan jabatan yang lebih pas, tetapi Ruhut sudah terlanjur ‘meradang’.

Mengingat begitu konsistennya Ruhutmembela (loyal) Ketua Dewan Pembina, sementara Sekjen PD dijabat oleh putra Sang Ketua Dewan Pembina, maka menjadi menarik ditanya mengapa DPP PD sampai hati menlengserkan sang “juru bicara” paling loyal itu?

Mungkinkah sekarang ini pujian Ruhut sudah tak lagi terdengar sebagai senandung merdu di telinga Presiden SBY? Boleh jadi ya. Sebab kita semua masih ingat komentar Mahfud MD terhadap ucapan kasar Ruhut yang menyebutnya (Mahfud) "bermulut comberan" dalam acara ILC beberapa minggu lalu. Mahfud berkomentar “Saya merasa terhormat dicaci Ruhut, tetapi akan merasa terhina bila dipujinya”

Mungkinkah sindiran Mahfud itu mengena di hati SBY? Siapa tahu? Sebab pujian Ruhut itu memang sudah terlalu berlebihan. Jangankan orang dewasa yang terdidik, anak-anak saja jika berpikiran waras pasti malu mendengar sanjungan yang tak lagi proposional tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun