Pemberitaan tentang jembatan gantung yang nyaris ambruk tapi masih digunakan oleh masyarakat untuk melintas dengan cara bergelantungan di Kabupaten Lebak telah memimbulkan beragam komentar.
Salah satu komentar di jejaring social twitter dan facebook berbunyi:“Ibu gubernurnya sedang sibuk bersolek kali, atau biaya jadi gubernur belum kembali. Jadi rakyat harus maklum”
Miris dengan komentar yang tendensius dan memojokkan sosok “ratu” yang saya kagumi itu mendorong saya memberanikan diri menemui Gubernur Banten itu untuk wawancara.
Knd: Selamat sore Bu Ratu. Kenalkan, saya Knd seorang Kompasianer.
Ratu (dengan jidat sedikit berkerut): Selamat sore. Silakan duduk. Ada apa ini, tumben Kompasianer datang mau wawancara dengan saya.
Knd: A.. a.. anu Bu Ratu. Apa Bu Ratu sudah menyaksikan pemberitaan berbagai media cetak maupun elektronik tentang derita rakyat yang terpaksa bergelantungan di tali jembatan gantung yang nyaris ambruk di Kabupaten Lebak?
Ratu: Oh, sudah, sudah. Memangnya kenapa?
Knd: Begini, Bu. Banyak masyarakat yang mempertanyakan kemana gubernur Banten? Kok terkesan kurang tanggapterhadap derita rakyat yang mempertaruhkan nyawa bergelantungan di tali jembatan yang runtuh di Kabupaten Lebak itu. Bahkan ada yang menyindir Tuanku hanya sibuk bersolek sementara rakyatnya sedang susah.
Ratu: Ha ha ha.. . sentimentil juga rupanya anda ini. Saya sebenarnya geli menyaksikan komentar para pengamat di media. Para komentator itu adalah orang-orang yang tidak mengerti budaya dan karakter masyarakat Banten.
Knd: MaksudAnda,Bu?
Ratu: Setelah menyaksikan tayangandi TV tentang anak-anak sekolah dan nenek-nenek yang bergelantungandi kawat jembatanyang nyaris ambruk itu, saya justru bangga.
Knd: Kok anda malah bangga Bu?
Ratu: Begini. Orang Banten itu memiliki karakter khas: keras, berani, tak gampang menyerah, dan religius. Saya bangga karena mereka (para perambat tali) telah menunjukkan karakter asli masyarakat Banten.
Bayangkan, di negara lain adegan seperti itu hanya ada di film, Indiana Jones, misalnya. Di Banten, kejadian itu nyata. Apa tidak hebat itu namanya?
Knd: Ta…tapi ,itu kan membahayakan nyawa mereka Bu.
Ratu: Hahaha …lagi-lagi anda tidak cukup cerdas untuk memahami makna yang tersirat dari bahasa tubuh orang Banten. Lihatlah tidak ada wajah pucat atau raut takut yang diperlihatkan oleh para perambat tali jembatan itu. Tahu, mengapa?
Pertama,dengan membiasakan diri bergelantungan seperti itu maka otot-otot mereka akan semakinkuat dan keseimbangan tubuh (balancing) mereka akan lebih baik.
Kedua, dengan tahu rasa sulitnya merambat di kawat jembatan, mereka bisa membayangkan akan seperti apa sulitnya melintasi jembatan Sirat al Mustaqim yang besarnya hanya serambut dibelah tujuh di akhirat kelak. Semoga anda, eh Kompasianer, bisa paham.
Mendengar paparan terakhir dari Sang Ratu tersebut saya hanya bisa terdiam sampai tiba-tiba ada yang menepuk pundak saya.
“Pak, pak! BarusansiRagil telepon katanya dia sudah keluar dari kelas” kata istri sayamengingatkan saya untuk segera pergi menjemput anak bungsu kami di sekolah.
Sambil tersenyum-senyum seperti orang gila mengingat wawancara imajiner dengan Ratu Atut tersebut, saya menstarter sepeda motor lalu meluncur ke sekolah anak saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!