Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Prostitusi. Binatang Saja Melakukannya, Apalagi Manusia

11 Mei 2015   17:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:09 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyusul tertangkapnya RA, pria 32 tahun yang diduga menjadi agen pelacur dari kalangan artis, masalah prostitusi menjadi trending topic di berbagai media dalam beberapa hari terakhir ini.

Seberapa istimewanya sih fenomena sosial yang disebut pelacuran ini dalam prespektif moral? Jawabannya bergantung pada kacamata filsafat apa yang digunakan.

Bagi kalangan optimist/objectivist yang berpandangan bahwa moralitas itu bersifat objective (nilai-nilai moral bersumber dari komponen spiritual alam, diwahyukan, dan terpisah dari aktivitas manusia); bersifat mutlak/eternal (tidak berubah); dan universal (berlaku untuk seluruh manusia), maka pastilah pelacuran dianggap kejahatan dan hina.

Tetapi jika yang digunakan adalah pandangan pessimist (sceptic-relativist) maka pelacuran hanya akan dipandang sebagai budaya yang terbentuk dari proses evolusi organic. Pelacuran, sebagaimana budaya-manusia lainnya seperti pantangan insest (kawin sedarah), ritual perkawinan/kematian, hingga perbudakan hanyalah produk evolusi biologis saja.

E.O. Wilson dalam bukunya Sociobiology (1975) yang sangat fenomenal, berpandangan bahwa seluruh struktur sosial manusia beserta interaksi di dalamnya dapat dijelaskan dengan sudut pandang teori evolusi. Secara evolusi, manusia adalah makhluk yang paling maju, tetapi jejak evolusi budayanya dapat dirunut dan dijumpai pada dunia binatang.

Pelacuran pada Penguin

Pakar perilaku hewan—lebih  tepatnya perilaku kawin burung penguin, Dr. Fiona Hunter, pada tahun 1998 melaporkan hasil kajiannya selama 5 tahun berkesimpulan bahwa pelacuran bukan hanya ada pada masyarakat manusia tetapi juga ada pada dunia binatang.

Burung penguin, sebagaimana halanya merpati, adalah hewan monogamous. Artinya, selama pasangannya masih hidup, si jantan atau pun si betina tidak akan mencari pasangan baru. Akan tetapi, menurut  Dr. Hunter, ada beberapa kejadian (persentasenya kecil) di mana ditemukan ada betina yang bersedia dikawini oleh jantan yang bukan pasangan tetapnya dengan suatu imbalan. Apa imbalannya?

Begini penjelasannya: Selama musim kawin si betina harus membuat sarang dari bebatuan (pebble) yang disusun sedimikian rupa untuk tempat meletakkan telur dan mengeraminya.  Jumlah batu yang diperlukan bukanlah sedikit berkisar 60 hingga ratusan butir. Masalahnya, batu-batu tersebut harus dicari dari tempat-tempat yang bebas  dari bangunan sarangnya, alias belum ada pemiliknya.  Mengambil batu dari bangunan sarang yang sudah jadi akan berisiko mendapat perlawanan dari pemilik atau penjaga sarang tersebut. Bila nekat maka akan terjadi perkelahian. Berkelahi berarti kerugian, rugi tenaga rugi waktu.

Nah, dalam situasi tertentu dimana pada suatu lahan sudah penuh dengan sarang maka mencari batu untuk sarang baru menjadi persoalan tersendiri. Batu harus didatangkan dari tempat yang boleh jadi agak jauh.

Rupanya, demikian yang ditemukan Dr. Hunter, ada saja penguin betina yang sedikit malas untuk mengumpulkan batu dari tempat yang jauh. Karenanya si betina ‘pelacur’ tersebut merayu jantan penjaga sarang yang sudah ada di situ (bakal jadi tetangga si betina pelacur) untuk mengawininya dengan imbalan boleh mengambil batu dari sarang yang dijaga si jantan ‘nakal’ tersebut.

Pelacuran pada Simpanse

Pada dunia simpanse juga ditemukan fenomena serupa. Bedanya, pada penguin terjadi transaksi langsung, ada jasa ada imbalan. Sedangkan pada simpanse betina asing (bukan anggota keluarga) secara sukarela masuk ke dalam keluarga yang berada di bawah perlindungan si jantan (jagoan) yang doyan ‘barang baru’. Tentu saja si betina ‘pelacur’ akan mendapat ‘fasilitas’ makan makanan yang sama dan bersama si si jantan ‘penguasa’, sementara si jagoan tersebut mendapat imbalan ‘layanan seks’ sepuasnya dari si betina asing tersebut.

Dengan melihat fenomena prostitusi berdasarkan kacamata Sociobiology itu bukan berarti membenarkan pelacuran, melainkan menjelaskan bagaimana dan dia berkembang dan apa maknanya secara ekologis.

Nah, sekarang kembali pada pertanyaan dari sudut mana budaya pelacuran ini akan dilihat? Yang pasti, sudut pandang filsafat apa pun yang kita pakai untuk melihatnya, fenomena pelacuran pada binatang dan manusia hanya bermakna satu: strategi untuk survive.

Salam Kompasiana

Sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/60302.stm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun