Ada hal menarik dari tulisan Kompasianer Hasto Suprayogo berjudul “Netizen Puji Kunjungan Presiden Jokowi Ke Papua” yaitu tidak tampaknya Gubernur Papua Lukas Enembe mendampingi presiden. Konon, menurut Wakil Gubernur, alasan ketidakhadiran Lukas itu karena yanag bersangkutan sedang berada di luar Papua untuk mengurus investasi smelter. Seperti dilaporkan Hasto dalam postingan tersebut, ribuan netizen mengkritik ketidakhadiran Gubernur Lukas itu.
Penasaran dengan berita tersebut saya mencoba mencari tahu apa kemungkinan penyebab (bukan alasan) ketidakhadiran Gubernur Lukas dalam kunjungan tersebut. Akhirnya saya menemukan sebuah artikel berjudul “Kunjungan Presiden Jokowi ke Papua : Bukti Keseriusan Terhadap Papua” di sini.
Dalam artikel itu saya temukan dua paragraf di bawah dua judul pinggir Evaluasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Pro dan Kontra Transmigrasi di Papua. Kutipan paragraf yang pertama adalah:
“Menteri Dalam Negeri kabinet Jokowi, Tjahjo Kumolo dalam rapat kerja bersama DPD RI mengatakan bahwa adanya wacana untuk mengevaluasi penggunaan dana Otsus Papua. Wacana itu hadir berdasarkan masukan dari sejumlah pihak. Politisi PDIP ini mengatakan bahwa wacana tersebut masih dalam tahap telaahan, dan masukan tersebut masih ada pro dan kontra. Terkait dengan hal tersebut, Lukas Enembe mengatakan bahwa sangat keliru jika pemerintah menilai dana otsus untuk Papua terbilang besar, apalagi bila dilihat tingkat kemahalan di Papua yang luar biasa. Gubernur Papua ini juga mengatakan bahwa Pemerintah Pusat jangan gegabah mengevaluasi Otsus Papua.”
Sedangkan kutipan paragraf kedua adalah sebagai berikut:
“Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi kabinet Jokowi mengatakan bahwa ia ingin menggejot laju transmigrasi. Untuk mewujudkan hal itu, ia ingin agar lahan-lahan di daerah bisa digunakan semaksimal mungkin. Ia juga mengatakan bahwa salah satu daerah yang akan dikembangkan sebagai tujuan transmigrasi adalah tanah Papua. Sementra itu, Gubernur Papua, Lukas Enembe menolak program transmigrasi yang direncanakan Marwan Jafar, karena orang asli Papua akan berpotensi tersisih dan menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Hal tersebut akan menimbulkan kecemburuan sosial yang akan memicu terjadinya konflik antara masyarakat asli Papua dan masyarakat pendatang.”
Mengacu dua kutipan paragraf di atas saya menjadi bisa memahami mengapa Lukas Enembe tidak mendampingi Presiden Jokowi saat mengunjungi daerahnya. Sepertinya sang gubernur sengaja tidak mau mendampingi presiden sebagai bentuk ‘unjuk rasa’ ketidaksetujuannya atas dua rencana (wacana?) kabinet kerja pimpinan Jokowi tersebut.
Jika memang itu penyebabnya, maka saya sependapat dengan para netizen yang mengkritik Lukas. Kunjungan presiden bertujuan baik, untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Ketidaksetujuan (beda pendapat) terhadap program pusat untuk Papua seyogyanya didiskusikan secara mendalam dengan presiden dan timnya, bukan dengan ‘memboikot’ kunjungannya.
Kalaulah benar ketidakhadiran itu karena gubernur ada agenda lain, pastilah agenda itu telah dijadwalkan sebelumnya. Jika acara gubernur itu levelnya bukan international, maka acara kunjungan presiden menempati level tertinggi untuk diagendakan oleh gubernur. Agenda lain yang levelnya lebih rendah dari itu mestinya bisa dijadwalkan ulang. Dengan begitu tidak perlu timbul kesan Gubernur Papua menganggap remeh (tidak penting) kedatangan presiden.
Pertanyaannya, investasi smelter itu levelnya apa sih? Sebesar apa nilainya? Apakah jauh melampaui jumlah rupiah yang akan digelontorkan pemerintah pusat ke sana? Jika jauh lebih besar, okay lah. Tetapi jika nilainya hanya berskala USD 6 digit, rasanya dana pembangunan >Rp 6 T (per tahun) dari Jakarta jauh lebih besar.
Evaluasi Dana Otsus
Lepas dari apa yang dimaksud dengan dan kemana arah wacana evaluasi dana Otonomi Khusus (Otsus) yang digulirkan pemerintah pusat, evaluasi itu memang perlu. Mengapa?
Sebagaimana diketahui sejak diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, besaran dana Otsus yang diberikan ke Papua terus mengalami peningkatan. Hingga tahun 2014 sedikitnya 30 trilyun rupiah sudah digelontorkan ke propinsi paling timur Indonesia tersebut. Lalu, apa hasilnya? Data BPS menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua masih lebih dari 30% yang artinya satu dari tiga penduduk Papua masih berada di bawah garis kemiskinan (di sini)
Ionisnya, sejak Otsus berlaku di Papua banyak kabar miring tentang perilaku pejabat Papua. Misalnya, ada joke yang bunyinya ‘pejabat Papua itu lebih mudah ditemui di Jakarta ketimbang di daerahnya sendiri’. Apa artinya semua itu? Wajar saja jika kemudian dana pembangunan yang dialirkan begitu besar (dibandingkan dengan pripinsi lain) tidak berhasil mengangkat kehidupan rakyat Papua secara menyeluruh.
Selanjutnya mengenai program transmigrasi. Saya setuju bahwa untuk Papua, transmigrasi bukanlah solusi terbaik untuk mempercepat pembangunan di sana. Karena itu pembangunan infra struktur harus berjalan efisien dan efektif, pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan harus lebih intens. Bukankah kunjungan presiden ke sana dalam rangka memastikan pembangunan tadi berjalan cepat, tepat, dan efisien?
Lepas dari kemungkinan dampak positif dan negatif program transmigrasi di Papua, masalah itu tetap bisa didiskusikan dengan kepala dingin. Tanpa harus ‘merajuk’ dengan mengabaikan kunjungan presiden.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H