Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perlukah Tuhan Menguji Iman Manusia? Tidak!

2 Februari 2012   15:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:08 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Entah dosa apa yang telah saya perbuat sehingga saya dan keluarga harus menanggung cobaan dan ujian seberat ini dari Tuhan” curhat Hardi dengan mata berkaca-kaca kepada saya dan Abah Markum saat membezoek istrinya yang terbaring koma di ranjang sebuah RSUD akibat kecelakaan lalu lintas.

Hardi pantas bersedih dan merenungi nasibnya. Sebab selain istrinya menderita gegar otak, sepeda motor satu-satuanya sandaran ekonomi keluarganya yang biasa dipakainya mengojek itu kini hancur. Meskipun biaya perawatan istrinya ditanggung “negara” berkat surat keterangan Gakin (keluarga miskin) dari kelurahan, tetapi sudah terbayang olehnya besarnya modal yang dia perlukan untuk memulai kembali usahanya.

“Nak Hardi, janganlah berpikiran seperti itu terhadap Tuhan” kata Abah Markum dengan suara baritonnya sambil mengusap lembut bahu Hardi.

Abah Markum adalah sosok orang tua yang sedikit aneh menurut ukuran kelaziman masyarakat di tempat tinggal kami. Selain statusnya sebagai penghuni rumah kontrakan, hal lain yang kami ketahui hanyalah pekerjaannya sebagai pedagang keliling perkakas pertukangan (palu, gergaji, golok dan sejenisnya) dan kebiasaanya memakai baju “kampret” warna hitam dengan ikat kepala dari batikberwarna gelap. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya agama Abah Markum. Dikatakan Islam tidak ada yang pernah melihatnya sholat baik sendiri atau berjamaah. Dikatakan Kristen, tidak pernah pula dia pergi ke gereja. Pendek kata misterius. Meski begitu tidak ada yang berani menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan karena takut yang bersangkutan tersinggung.

“Tuhan maha kuasa dan maha tahu tentang segala sesuatu di jagat raya ini, termasuk pikiran dan isi hati manusia. Karena dia maha tahu akan segala sesuatu dan maha kuasa untuk menjadikan sesuatu, maka prasangka bahwa Tuhan perlu menguji iman dan ketabahan manusia adalah sebuah kekeliruan” lanjut Abah Markum.

Pandangan yang tidak lazim kami dengardari para guru agama itu kontan mengubah suasana di ruang rawat inap itu. Bola mata Hardi yang tadinya basah-memerah, mendadak kering dan berbinar. Emosi saya yang tadinya larut dengan kesedihan Hardi seketika lebur tak ubahnya seperti orang yang terbangun dari tidur.

“Maksud Abah, kejadian seperti ini bukan cobaan atau hukuman dari Tuhan?” tanya saya penasaran.

“Mengapa Tuhan perlu menguji sesuatu yang sudah Dia ketahui kualitas dan kapasitasnya?” kata Abah Markum mengembalikan pertanyaan kepada kami berdua.

Tanpa menunggu jawaban dari saya dan Hardi, Abah Markum segera melanjutkannya:

Pengujian atau percobaan hanya dilakukan ketika kualitasdan kapasitas sesuatu belum diketahui. Sedangkan Tuhan serba tahu. Jika Tuhan masih harus menguji sesuatu yang sudah Dia ketahui hasilnya, bukankah itu pekerjaan bodoh dan sia-sia?

Selanjutnya soal hukuman, itu juga kekeliruan. Sebab, Tuhan memberi kita kebebasanmemilih dan bertindak selama kita hidup. Pengadilannya nanti setelah kita selesai menjalani kehidupan ini, tidak sekarang” demikian papar Abah Markum.

“Jika bukan cobaan atau ujian, lantas mengapa banyak orang yang harus menderita oleh peristiwa/kejadian sekejap tak terduga, sementara sebagian lainnya berbahagia dengan segala kenikmatan tanpa harus bermandi peluh selama hidupdi dunia ini?” tanya saya

“Latihan” jawab Abah Markum. “Latihan untuk kematangan spiritual kita sendiri.”

Karena kualitas dan kapasitas spiritual manusia itu berbeda-beda maka setiap orang diberikan Tuhan medan latihan yang berbeda pula. Ada yang diberi medan latihan berupa limpahan harta benda dan kekuasaan. Ada pula yang diberi medan latihan berupa kesengsaraan yang berulang.

“Maaf Bah, saya kok tidak melihat esensi perbedaan antara latihan dengan ujian itu” sela saya.

“Berbeda sekali” jawab Abah Markum seraya menambahkan:

Diuji atau dicoba konotasinya pasif dankita ditempatkan sebagai objek. Sebagai objek uji yang pasif kita tidak memiliki daya untuk merancang kelulusan kita.

Dalam latihan, tidak ada lulus-tidak lulus. Yang ada adalah kebebasan untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan proses dan hasil latihan itu

Jadi, dilatih atau berlatih itu konotasinya aktif dan kita diposisikan sebagai subjek. Manusia adalah makhluk subjektif dan aktif, karena itu manusia diberi kebebasan memilih dan berbuat untuk dipertanggungjawabkan.

“Itukah benang merah antara takdir (destiny) dengan kehendak bebas (free will), Abah?” tanya saya.

Abah Markum balik bertanya “Apa gunanya hal itu dipersoalkan?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun