Jaja baru sebulan berkenalan dengan Esther, tetapi dia berketetapan hati ingin mejalin hubungan serius dengan mahasiswi calon bidan tersebut. Itu sebabnya Jaja berniat untuk berkunjung (apel) ke rumah Esther, anak seorang pendeta Kristen. Singkat cerita dia sudah berada di ruang tamu rumah Esther.
“Dicicipi kuenya Mas, cuma ini adanya lho…”kata Esther mempersilakan Jaja untuk menikmati hidangannya.
Sebagaimana layaknya umat Kristiani Jaja pun tidak lupa berdoa sebelum menyantap minuman dan kue hidangan Esther.
Dari balik tirai di ruangan tengah, ayah Esther yang pendeta itu, diam-diam memperhatikan gerak-gerik Jaja.Rupanya sang pendeta melihat ada keanehan pada gerakan tangan Jaja saat membentuk salib ketika mengakhiri doa.
Lazimnya gerakan tangan (jari) di awali dari dahi, lalu ke dada/perut, dilanjutkan gerakan dari bahu ke bahu. Nah, Jaja melakukannya dengan gerakanmelingkar dari bahu kanan ke dada, bahu kiri , dan berakhir di dahi.
“Wah, ada yang gak beres dengan pemuda ini” pikir ayah Esther. “Hanya dua kemungkinannya. Anak ini gak ngerti tata cara berdoa, atau dia penganut aliran sesat” demikian dugaan sang pendeta penasaran.
Lalu….
“Eh, ada tamu…” kata si pendeta pura-pura baru tahu kalo ada tamu sambil mendatangi Esther dan Jaja.
“Oh ya, kenalkan Pah, ini Jaja teman Esti (panggilan Esther) yang pernah Esti ceritakan kemarin” kata Esther kepada ayahnya.
“Esti, tolong ambilkan kacamata Papa di ruang baca ya” pinta sang pendeta pada Esther. Esther tahu persis permintaan ayahnya itu adalah isyarat agar dia membiarkan ayahnya berbicara empat mata dengan Jaja.
“Bagus juga kalung yang kamu pakai itu,Nak Jaja” puji sang pendeta terhadap hiasan berupa simbol salib pada kalung yang dikenakan Jaja.
“Ini salah satu wujud kebanggaan saya pada Yesus Pak..” jawab Jaja.
“Bagus itu! Tapi, akan lebih baik jika kebanggaan itu diwujud-nyatakan dengan menerapkan ajaranNya secara baik dan konsisten” komentar sang pendeta.
“Oh ya, ngomong-ngomong Nak Jaja ini dari Gereja apa?” pancing sang pendeta melanjutkan “interogasinya”. Maksud pertanyaan pendeta adalah ingin tahu Jaja bergabung dalam komunitas (jemaat) geraja apa.
“Hari ini kan Kamis Pak, bukan hari kebaktian, jadi hari ini saya gak ke gereja mana-mana?” jawab Jajadengan enteng.
“Wah, bener-bener gak nyambung nih anak” pikir sang pendeta mulai sedikit jengkel
Meski sang pendeta sudah punya kesimpulan tentang kualitas kekristenan si Jaja, ayah Esther tidak memperlihatkan perubahan emosi apa pun.
“Mungkin saja kalimat saya salah dipahami oleh anak ini” bisik hati pendeta mencoba berpikir positip. Karena itu ayah Esther memutuskan untuk bertanya satu hal lagi yang paling fundamental. Bagi sang pendeta jawaban atas pertanyaan yang satu ini menjadi ukuran seberapa baik atau seberapa “abal-abalnya” status iman kristen seseorang.
“Nak Jaja sudah pernah di-baptis?” tanya sang pendeta.
Mendengar imbuhan “di” di depan kata “baptis”spontan Jaja mengaitkannya dengan tempat, sehingga…
“Wah, baru kalinya ini saya dengar tempat itu. Itunama kota di Indonesia atau di luar negeri, ya Pak?” tanya jaja dengan polosnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H