Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata ‘oplos, mengoplos’ dengan ‘mencampur’, contohnya ‘mencampur obat dsb.’ Sedangkan kata ‘oplosan’ diartikan ‘hasil mengoplos; campuran; larutan’. Dengan demikian maka sesungguhnya kegiatan ‘mengoplos’ adalah sesuatu yang lazim, bahkan untuk alasan tertentu merupakan keharusan.
Contoh kegiatan mengoplos yang lazim adalah proses pembuatan makanan/minuman. Sayur asem, sayur lodeh, rendang, dan sambal adalah oplosan karena terdiri atas sedikitnya dua macam bahan dasar.
Adapun contoh kegiatan mengoplos sebagai keharusan adalah peracikan obat untuk anak balita oleh apoteker dan pencampuran bahan beton oleh tukang bangunan. Obat anak harus dioplos karena anak-anak belum bisa memakan obat sendiri dan tidak suka dengn aroma dan rasa obat. Pembuatan beton juga begitu. Tanpa dioplos dipastikan beton tidak akan memiliki kekuatan.
Akan tetapi, anehnya, ketika mendengar atau membaca kata ‘oplosan’ kesan yang muncul di benak sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih saat ini, adalah negatif. Mengapa? Sebab, kata ‘oplosan’ lebih sering digunakan untuk menyebut suatu produk campuran yang kualitasnya membuat kecewa dan kesal para konsumennya.
Mengoplos karena ketamakan
Di dunia ini apa yang tidak bisa dioplos? Nyaris tidak ada! Batasannya ada pada moralitas: boleh atau tidak, pantas atau tidak dilakukan.
Ketika ketamakan menguasai diri, keuntungan materi lebih dijadikan tujuan ketimbang empati dan welas asih terhadap sesama, maka jadilah semua cara dihalalkan.
ØIkan segar dan  ikan asin dicampur formalin;
ØMakanan kedaluarsa dijual ulang dalam bentuk parsel;
ØBakso daging sapi dicampur daging babi;
ØBeras ketan dicampur beras biasa yang bermutu rendah;
ØJamu tradisional dicampur dengan obat-obat antipiretik atau analgesic;
ØBahan kosmetik dicampur dengan pemutih berbahan logam berat berbahaya;
Ødsb.
Yang menyedihkan bagi rakyat adalah, setiap kali razia dilakukan, setiap kali pula produk oplosan ditemukan tetapi tidak ada tindakan apa pun yang diambil pemerintah yang dapat membuat jera para pelakunya. Demi alasan mencegah meluasnya keresahan dalam masyarakat, laporan dan temuan-temuan produk oplosan yang dapat membahayakan keselamatan itu lebih banyak ditutupi atau dipeti-eskan.
Karena tidak ada contoh pengoplos/pedagang curang yang pernah dihukum berat maka jadilah negeri ini sebagai surga para pengoplos. Karena ‘merasa’ berada di surga maka semua perbuatan pun jadi halal. Di surga tidak ada lagi larangan, tidak ada perbuatan yang jahat, semuanya boleh, semuanya halal. Hm….
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H