Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Muslim Tanpa Iman vs Beriman Tanpa Jadi Muslim

4 Agustus 2014   20:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:26 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seorang guru mengaji dengan lantang menjawab “Tidak Bisa!” ketika ditanya oleh seorang warga di kampungya dengan pertanyaan: “Bisakah seseorang menjadi muslim tanpa beriman, dan seseorang beriman tanpa harus menjadi muslim?”

Jawaban guru tersebut adalah jawaban yang paling banyak diamini oleh kebanyakan umat Islam (muslim). Tetapi umumnya argumen yangacap digunakan adalah argumen melingkar; “Karena bukan muslim maka dia tidak beriman, karena tidak beriman maka dia bukan muslim”.

Akan tetapi dimata penganut yang kritis. Jawaban yang diharapkan tidaklah sesederhana itu. Sebab untuk menjadi seorang Muslim syaratnya (Rukun Islam) hanya lima. (1) Bersyahadat; (2) Shalat; (3) Berpuasa; (4) Berzakat; dan (5) Berhaji.

Sementara untuk disebut beriman atau berhak mengaku beriman jika percaya pada enam hal (Rukun Iman). (1) Percaya kepada Allah; (2) Percaya kepada malaikat-malaikat Allah; (3) Percaya kepada rasul-rasul Allah; (4) Percaya kepada kitab-kitab Allah; (5) Percaya kepada hari akhir/kiamat/hari pembalasan; dan (6) Percaya kepada Qada dan Qadar dari Allah.

Berdasarkan kriteria di atas dapat dikatakan bahwa ukuran kemusliman sangat kuantitaif. Seseorang sudah bisa disebut/menjadi muslim yang sempurna bila dia sudah memenuhi kelima rukun Islam: sudah bersyahadat, sholat wajib dan sunnah dipenuhi, puasa tidak pernah putus, bayar zakat rajin, dan pula menunaikan ibadah haji,. Masalahnya apakah dengan menjadi muslim paripurnaitu seseorang sudah pasti beriman?

Karena Iman tidak memiliki ukuran kuantitatif, maka seorang muslim yang sudah komplit rukun Islamnya belum tentu memiliki kadar keimanan yang kokoh. Agaknya inilah yang menyebabkan banyaknya perilaku amoral yang justru dilakukan oleh muslim/muslimah yang sudah melengkapi kelima Rukun Islam itu.

Jika rukun iman benar-benar diyakini, mustahil seseorang berani “menipu” Tuhan dengan beragam aksi culas dan licik diatas kutipan ayat-ayat kitab suci dan/atau peraturan/perundangan dan etika. Orang beriman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari kiamat dan takdir pasti meyakini bahwa apa pun yang dia lakukan Allah maha tahu. Semua dosa yang dia lakukan pasti akan mendapat balasan di hari akhir kelak.

Lantas, apa sebutanyya orang-orang yang tampak sangat-sangat shalih karena 5 jenis ibadah (rukun Islam) sudah dia sempurnakan tetapi masih memiliki keserakahan, kebencian, kemarahan, kesadisan terhadap sesama manusia?

Kebalikan dari itu, di dunia ini, banyak pula orang percaya akan keberadaan Tuhan; percaya akan adanya makhluk-makhluk gaib yang mulia; percaya akan adanya manusia-manusia suci utusan (pilihan) Tuhan; percaya akan adanya ayat-ayat suci yang diwahyukan Tuhan; percaya akan adanya kehidupan setelah mati; percaya akan adanya kekuatan takdir, tetapi tidak sempurna ke-Islaman-nya.

Tentu yang ideal adalah seseorang yang islamnya paripurna (kelima rukun islam dijalani) dan imannya sempurna (keenam rukun iman diyakini). Pertanyaannya mungkinkah seseorang menjadi manusia Illahiah (penuh iman) tanpa harus menjadi muslim.Akankah jawabannya selalu “Tidak Bisa!”

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun