Dahlan Iskan (Meneg BUMN) dan Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konsitusi) adalah dua tokoh yang sempat (dan masih) digadang-gadang oleh masyarakat dan media sebagai calon pemimpin masa depan. Itu semua berkat keberhasilan keduanya menorehkan kesan sebagai sosok yang jujur, bersih, tegas dan merakyat.
Dari mana public mendapat kesan seperti itu sehingga meyakini bahwa keduanya pantas dipertimbangkan sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia? Salah satunya, dari kebiasaan merekaberbicara blak-blakan saat memberi komentar atau pendapat terhadap beragam peristiwa hukum dan politik di negeri ini.
Sayangnya kebiasaan berbicara blak-blakan itu seringkali tidak didasarkan pada data yang akurat dan tidak mempertimbangkan dampaknya secara matang. Akibatnya, kedua tokoh (yang boleh jadi memang jujur, bersih, dan ikhlas dalam berbuat) tersebut kerap mengalami blunder.
Blunder Dahlan Iskan
Meneg BUMN Dahlan Iskan (DI) sempat menimbulkan harapan besar bahwa dia akan menjadi ujung tombak untuk membersihkan DPR dari oknum-oknum anggotanya yang korup. Betapa tidak, di tengah kecurigaan dan kegeraman public bahwa DPR adalah “sarang penyamun” Dahlan Iskan“berkotek” telah mengantungi 10 nama anggota DPR yang suka meminta jatah (memeras) BUMN.
Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, saat didesak wartawan untuk membuka nama-nama anggota DPR di dalam sakunya itu DI terkesan ragu-ragu dan berkelit. Dia hanya mampu memberikan dua nama di kesempatan pertama, dan lima nama pada kesempatan keduanya menghadap BK DPR.
Celakanya, penyerahan nama-nama tercuriga “pemeras” BUMN itu tidak disertai dengan bukti-bukti yang cukup. Akibatnya, alih-alih sukses memberi kejutan, belakangan justru dialah yang “disomasi” oleh dua anggota DPR yang masuk daftar tuduhannya. Mengapa bisa begitu?
Ada banyak kemungkinan sebabnya. Diantaranya, karena informasi yang didapat DI tentang kiprah parapeminta jatah ke BUMN itu sangat tidak lengkap sehingga tidak dapat dijadikan bukti awal untuk proses hukum.
Jika memang tidak cukup bukti lantas mengapa DI nekat bernyanyi dengan lagu yang sangat sensitive itu? Inilah yang dicurigai oleh beberapa pengamat bahwa DI sedang melakukan trik “buruk muka cermin di belah”. Ketidak mampuannya membenahi kinerja BUMN , baik ketika dia menjabat sebagai dirut PLN maupun saat dia menjabat Meneg BUMN sekarang ini, ingin ditimpakannya pada pihak lain (DPR).
Jika memang begitu keadaannya maka DI sebenarnya adalah pribadi yang ceroboh dan tidak bijaksana. Ceroboh, karena terlalu gampang mengumbar informasi yang belum jelas akurasi dan validitasnya. Tidak bijaksana, karena dia tidak mempertimbangkan dampak dari ucapan dan tindakannya kepada pihak lain maupun kepada dirinya sendiri.
Sikap semacam itu tentulah bukan sikap yang pantas dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa, kepala negara, mapun kepala pemerintahan.
Blunder Mahfud MD
Kita tentu masih ingat bagaimana Mahfud MD (MMD) sempat clash dengan Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri di tahun 2011 laluakibat kritik pedasnya kepada jajaran kepolisian dalam kasus Bibit-Chandra dengan menyebut “aparat kepolisian tak ubahnya seperti binatang”.
Terakhir, mantan anggota kabinet di era Presiden Abdurahman Wahid itu mendapat “somasi” dari Mensesneg Sudi Silalahi akibat tudingannya yang menyebut bahwa mafia pengedar narkoba sudah masuk ke dalam lingkaran istana. Tudingan itu terkait dengan kontroversi pemberian grasi oleh presiden kepada terpidana mati kasus narkoba.
Terlepas dari siapa dan apa klasifikasi (A1 atau A2) sosok informan yang menjadi narasumber MMD, tidak sepantasnya dia mengungkapkan hal tersebut di hadapan public. Sebagai akademisi, ahli, dan penegak hukum tentunya MMD tahu betul mana informasi yang bisa dijadikan fakta hukum, mana informasi yang hanya berpotensi menjadi fitnah belaka.
Dengan terlalu gampangnya (spontan) MMD mengumbar komentar yang berbau tuduhan tanpa dasar yang kuat dan tanpa pertimbangan akan dampaknya secara personal dan institusional, maka MMD sama ceroboh dan tidak bijaksananya dengan Dahlan Iskan.
Jika hanya bermodal informasi yang masih remang-remang sudah cukup baginya untuk menarik kesimpulan dan/atau keputusan, maka pribadi seperti DI dan MMD berpotensi menjadi pemimpin yang otoriter.
Bayangkan jika nanti RUU Keamanan Nasional sudah berlaku, sementara DI atau MMD adalah penguasa tertinggi republic ini. Bisa-bisa UU tersebut menjadi senjata ampuh mereka untuk bertindak ketika mendapat informasi (yang belum tentu valid) dari orang-orang (yang boleh jadi para penjilat kelas kakap) di sekelilingnya.
Wallahu’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H