Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Logika Ateis yang Tidak Logis di Kompasiana

22 Juni 2011   20:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:16 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nyaris setiap hari terjadi diskusi (debat?) antara orang-orang yang mengklaim dirinya ateis dengan orang-orang yang membela keyakinan (akan Tuhan dan agama) mereka di lapak filsafat Kompasiana ini. Uniknya, kelompok ateis yang sebagian mengklaim pernah (atau masih?) memeluk agama tertentu, justru getol menggugat dan mencela konsep keyakinan agama yang diklaimnya telah ditinggalkannya itu.

Menarik dipertanyakan: apa sesungguhnya yang ingin digugat/disangkal oleh kelompok ateis ini terhadap “bekas” agamanya: konsep ketuhanannya, eksistensi Tuhan, atau fungsi agamanya?

Jika konsep ketuhanan yang diajarkan agama-agama yang dicelanya itu dipandang salah, berarti ada konsep lain yang dipandangnya benar. Anehnya tidak ada konsep ketuhanan (alternatif) baru yang bisa ditawarkannya selain (paling banter) kembali ke konsep ketuhanan lama yang itu-itu saja. Fakta menunjukkan posisi paling aman yang diambil para rasionalis saat ini adalah sekeptis (baca: masih menunggu bukti).

Jika para ateis masih membayangkan, berpikiran, atau memiliki konsep ketuhanan aternatif diluar konsep yang sudah ada (Tuhan personal, impersonal, atau proses), itu artinya dia juga membutuhkan Tuhan. Jika demikian apa bedanya dengan kalangan beragama yang dicelanya tadi?

Jika eksistensi Tuhan yang ingin disangkal, maka patut pula dipertanyakan: untuk apa? Bukankah bagi ateis sejati Tuhan tidak ada? Jika tidak ada lantas apa manfaatnya dipersoalkan?Bukankah memperdebatkan sesuatu yang tidak ada adalah pekerjaan bodoh yang sia-sia? Jika tetap juga dilakukan bukankah itu artinya para ateis itu tidak lebih pintar dari orang-orang beriman?

Jika fungsi (peranan) agama yang ingin dipersoalkan atau mungkin ingin diluruskan, anehnya tidak ada pula format ajaran baru (moral atau ritual) yang ditawarkan?Paling banter hanya menawarkan ideologi eksistensialis-humanis, bahwa eksitensi dan kebahagiaan hidupmanusia itu ditentukan oleh manusia sendiri; melalui rumusan moral dan hukum yang disepakati bersama di dalam suatu masyarakat.

Para ateis mengabaikan kenyataan bahwa jauh sebelum agama (insitusional) ada manusia telah melakukan semua itu. Jika manusia bisa hidup rukun, damai, dan sejahtera dengan menerapkan sudut padang eksistensialis-humanis, lalu mengapa manusia harus menciptakan(menerima) agama?

Selanjutnya, jika benar ada ateis yang mengaku masih memeluk agama tertentu tetapi tidak lagi menjalankan ibadah (ritual) seperti yang umumnya dilakukan oleh pemeluk agama tersebut maka ada dua kemungkinan penyebabnya.

Pertama, dia memiliki rasa percaya diri (bolehlah disebut narsis) yang terlalu tinggi, sehingga merasa keyakinannyalah yang paling tepat untuk diterapkan/dijalani. Adapun praktik ibadah para pemeluk lainnya dianggapnya berlevel rendah (awam). JIkaitu posisinya, berarti dia seharusnya (merasa) menjadi orang yang bijak. Bukan kah orang bijaksana tidak pernah menganggap rendah, apalagi melecehkan/menghina, makhluk lain? Jika masih suka mencela dan merendahkan paham orang lain, bukankah itu artinya dia juga tidak lebih bijak (cerdas) dari orang-orang yang direndahkannya itu.

Kedua, dia munafik. Di satu sisi dia (nuraninya) tidak lagi meyakini ajaran agamanya tetapi di sisi lain dia masih membutuhkan pelayanan orang seagamanya untuk kepentingan sosialnya. Artinya dia takut terkucil secara sosial dari masyarakat seagamanya, takut kehilangan perhatian saat memiliki hajat sosial seperti menikah/menikahkan anak, atau takut tidak diurus orang saat mengalami musibah seperti ada anggota keluarganya yang meninggal.Padahal, ateis sejati yang biasanya lebih suka disebut sebagai humanis-moralis sangat mencela sikap munafik ini. Lalu apa artinya jika sifat itu masih melekat pada dirinya?

Jika memang seperti itu adanya paham dan sikap serta posisi para eksistensialis- humanis- moralis di Kompasiana ini, maka klaim sebagai ateis adalah klaim yang penuh keraguan, setengah-setengah, alias tanggung. Belum berani ambil risiko.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun