Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada di Indonesia banyak yang tidak bebas dari konflik. Itu terlihat dari banyaknya pilkada yang berujung pada sengketa. Sengketa umumnya terkait dengan dugaan adanya kecurangan dalam pelaksanaannya, mulai dari isu politik uang hingga ke isu manipulasi dalam penghitungan suara.
Untuk pilkada yang berjalan mulus pun, tidak berakhir di palu MK, isu kecurangan tetap sering mencuat ditandai dengan banyaknya unjuk rasa pihak-pihak yang kalah memprotes hasilnya. Jika demikian keadaannya, maka sesungguhnya kecurangan dalam pilkada di tanah air boleh disebut sebagai keniscyaan.
Hanya saja, mulus atau tidaknya, terungkap atau tidaknya, kecurangan itu lebih ditentukan oleh masalah teknis, bukan oleh ukuran-ukuran moral/kesadaran.
Secara teknis, kecurangan akan semakin sulit terungkap, jika ada unsur pembenar kecurangan tadi. Salah satu unsur penutup (pembenar) kecurangan adalah unsur formal. Dalam politik, dukungan resmi sebuah parpol terhadap seseorang atau parpol lain bisa berfungsi sebagai unsur formal tadi.
Dalam kontkes Pilgub DKI, Foke secara resmi mendapat dukungan dari parpol-parpol besar seperti Golkar, PPP, dan PKS. Makna politisnya, Foke secara logis-fromal akan mendapat dukungan dari kader dan simpatisan parpol-parpol tersebut.
Jika kemudian Foke menang dalam pilgub putaran kedua, maka hal itu bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Sebab, secara logis dan formal jumlah suara loyalis parpol-parpol tersebut memang cukup signifikan memenangkan Foke.
Hitungannya, di putaran pertama Foke-Nara sudah mengantongi 34,05% suara. Bila ditambah suara Alex-Nono yang diusung Golkar dan PPP (4,6%) dan suara Hidayat-Didik yang diusung PKS (11,72%) maka jumlah total yang akan diraih Foke adalah 50,37%.
Kalaulah nanti terjadi kecurangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, maka kecurangan itu akan tertutupi oleh dukungan (fakta) formal partai-partai besar tadi. Maka kalimat yang akan terdengar adalah: “Wajar dong Foke menang, dia kan didukung oleh koalisi partai-partai besar”
Di sinilah dukungan resmi para elit parpol terhadap seorang calon bisa berfungsi sebagai cek kosong. Cek kosong yang bisa memberi peluang untuk terjadinya kecurangan yang rapih.
Mengingat dunia politik adalah dua abu-abu, sementara pelakunya banyak yang berwatak bunglon, maka kemungkinan kecurangan dalam sebuah hajatan demokrasi sama-sekali tidak boleh diabaikan. Semua pihak yang peduli dengan kehidupan demokrasi yang sehat, terutama Panwaslu, hendaklah waspada menyikapi aksi dukung-mendukung yang dilakukan elit parpol terhadap calon pemimpin.
Semoga moral tetap menjadi pijakan pelaksanaan pilgub DKI Jakarta putaran kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H