Ada kejutan yang cukup ‘menggemparkan’ di pekan ketiga masa kampanye pemilu presiden 2014 ini, yaitu meloncatnya sang ‘kutu loncat politik’ Ruhut Sitompul ke kubu Jokowi-JK. Menggemparkan, terutama bagi kalangan internal Partai Demokrat, karena secara masif pengurus dan anggota PD baru saja menyatakan dukungan kepada kubu Prabowo-Hatta beberapa waktu sebelumnya. Dukungan itu mencapai puncaknya ketika para pentolan PD, termasuk di dalamnya Ibas Yudhoyono, hadir pada kampanye akbar Prabowo Subianto di Gelora Bung Karno sehari sebelumnya.
Memang tidak ada yang salah dengan manuver ‘Si Poltak’ itu jika rumus yang digunakan adalah “tak ada teman abadi atau musuh abadi dalam politik”. Makin tidak salah lagi bila kacamata yang kita pakai untuk membaca manuver itu adalah kacamata kutu loncat. Bagi kutu loncat, hanya satu kata yang paling bermakna dalam hidupnya yaitu kepentingan/keuntungan.
Manuver Ruhut ‘Si Raja Minyak’ terkesan kurang elok, bahkan mungkin bisa dikatakan salah, bila yang kita gunakan untuk menilainya adalah etika. Sungguh, sulit menemukan kata yang tepat untuk membenarkan apalagi memuji langkah ‘sang juru bicara’ Partai Demokrat itu bila kita ingat akan sikap, kata dan kalimat kritisnya terhadap Jokowi di awal wacana pencapresan Gubernur DKI tersebut.
Ruhut adalah salah satu pengkritik paling vokal atas kinerja Jokowi di DKI. Bagi Ruhut tidak ada prestasi yang patut dibanggakan dari Jokowi selama memimpin Jakarta. Banjir dan kemacetan, yang masih menjadi persoalan Jakarta hingga sekarang, adalah dua isu yang dijadikannya alasan untuk mengecilkan prestasi Jokowi.
Bagi orang yang menjunjung tinggi moral dan harga diri tentu akan bertanya: Sudah lupakah Ruhut dengan kata-kata pedasnya saat mengkritik Jokowi? Tidak ada lagikah rasa (urat) malu pada diri si Ruhut? Sebegitu pentingnyakah bagi dia materi dan kekuasaan ketimbang harga diri?
Apa pun jawaban dan alasannya, ada hal yang harus diwaspadai oleh kubu Jokowi. Pertama, apakah nilai dukungan itu akan signifikan meningkatkan elektabilitas Jokowi-JK. Hal ini penting dipertimbangkan karena sempat berhembus kabar bahwa kembalinya Ruhut ke Senayan dalam pileg April lalu karena dia ‘dimenangkan’, bukan menang. Itu artinya, di dapilnya sendiri Ruhut tidak lagi populer.
Sementara secara nasional kita semua tahu bagaimana komentar publik, di jagad maya khususnya, terhadap penampilan dan ulah Ruhut dalam setiap dialog dan perdebatan di depan publik. Mayoritas memberikan penilaian miring dan cenderung tidak suka terhadap sikap dan kata-katanya yang dinilai arogan dan kasar. Melihat track record itu, bila tidak berhati-hati, dukungan Ruhut alih-alih bermanfaat malahan bisa jadi bumerang bagi kubu Jokowi.
Namun demikian, mengingat Ruhut mengaku bahwa ‘lompatannya’ itu sudah mendapat restu SBY, boleh jadi Ruhut bukan semata-mata mengorbankan harga diri demi kepentingan dirinya sendiri, tetapi membawa ‘pesan’ dan ‘misi’ khusus dari SBY. Kita semua tahu bahwa SBY dalam pilpres ini terkesan gamang. Tentu dalam kegamangan itu yang paling aman adalah menerapkan politk ‘dua kaki’ alias ‘kiri-kanan OK’.
Jika benar bahwa Ruhut membawa misi maka tentunya itu didasarka pada perhitungan matematis. Boleh jadi salah satunya, karena pihak Ruhut dan SBY melihat peluang menang Jokowi sudah sulit dibendung. Untuk mengamankan ‘pintu masuk’ ke kubu capres yang peluang menangnya besar itulah agaknya Ruhut ‘disusupkan’ ke kubu Jokowi.
Jadi, apa pun alasan manuver Ruhut, murni karena mentalitas kutu loncatnya (alasan pribadi) atau karena membawa misi, kedua-keduanya tidak memberikan keuntungan bagi kubu Jokowi. Malahan sebaliknya justru bisa menjadi beban dalam masa pilpres ini (taruhannya elektabilitas Jokowi-JK) dan bisa menjadi duri alam daging bagi kekuasaan Jokowi-JK jika kelak menang pilpres.
Karena itu, hati-hatilah melihat, menyikapi, dan menerima kehadiran dan dukungan Ruhut Sitompul.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H