Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ilmu Sejarah itu Sampah!

27 Juni 2011   20:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah sangat dan teramat sering kita mendengar para tokoh (cendikiawan, politikus, atau agamawan) mengutip ungkapan “jangan sekali-kali melupakan sejarah” (jas merah). Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, jargon jas merah itu lebih banyak diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual serimonial berupa perayaan dan/atau upacara hari-hari besar belaka. Tujuannya hanya untuk mengenang peristiwa tertentu dan meluapkan rasa kagum dan bangga pada tokoh-tokoh hebat masa lampau.

Jika itu bentuk penghayatan pada jas merah maka sesunguhnya sejarah hanya dijadikan sampah. Di analogkan sampah karena kita hanya bangga mengenang keindahan, kemegahan dan kehebatan sesuatu di masa dulu, tetapi karena sekarang sudah jadi barang rongsokan tak satupun yang mau menggunakannya lagi.

Padahal, sejarah tidak hanya berisi catatan nama tokoh, tempat, dan urutan peristiwa tetapi juga memaparkan beragam variable penyebab dan dampak dari suatu peristiwa. Dalam konteks inilah sebenarnya sejarah berfungsi sebagai guru, atau materi pelajaran yang berharga bagi generasi pewarisnya.

Mengagumi Bung Karno
Dalam dunia politik misalnya tidak sedikit orang (partai) di republik ini yang membanggakan bahkan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh seperti Bung Karno (BK), sehingga dalam setiap kesempatan selalu mengutip ucapan beliau sembari memajang foto diri beliau. Tetapi apakah dengan mengagumi, menyanjung, dan menyebarkan ucapan-ucapan dan visi BK dapat diartikan telah belajar dari sejarah perjuangan BK?

Bung Karno memang tokoh hebat, bukan hanya di mata orang Indonesia, yang hingga saat ini belum juga ada gantinya. Tetapi pernahkah para pengagum BK membuka buku sejarah tentang kondisi sosial, budaya, potilik, ekonomi, dan teknologi yang berkontribusi memunculkan dan membesarkan BK di jamannya? Lalu menjadikan data-data tersebut sebagai acuan dalam menyusun strategi perjuangan?

Jika sekarang belum muncul tokoh seperti BK benarkah karena tidak ada orangnya, atau kondisi sosial, budaya, potilik, ekonomi, dan teknologi masa kini yang tidak meniscayakan untuk muncul dan berkembangnya sosok sekaliber BK?

Selanjutnya, pernahkan para pengagum BK juga bertanya mengapa sosok hebat sekelas BK akhirnya bisa jatuh, sampai-sampai peran perjuangan beliau nyaris dihapus dari sejarah itu sendiri?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya sudah disediakan oleh (ilmu) sejarah. Variable-variabel sebab-akibat atas muncul, berkembang, dan pudarnya kejayaan BK itulah sesungguhnya materi pelajaran berharga yang disebut belajar dari sejarah. Bukan dengan memajang foto diri, mengutip ucapan, atau pun dengan meniru pekikan beliau dengan kata “MERDEKA”

Merindukan Sistem Khilafah
Dalam era reformasi ini muncul golongan yang sibuk berkampanye tentang pentingnya Indonesia (yang mayoritas Muslim) mengadopsi Sistem Khilafah sebagai pengganti system demokrasi dalam bernegara. Kelompok ini sangat terkesan dan bangga dengan kebesaran (kerajaan) Islam di masa lampau ketika umat (baca: negara) Islam dipimpin para khalifah.

Bangga dan kagum terhadap kebesaran orang-orang di masa lampau sah-sah saja, itu manusiawi, meskipun terkesan sentimentil secara emosional. Tetapi jarang yang benar-benar tahu (berdasarkan data sejarah yang benar dan akurat) tentang kondisi, situasi, dan suasana yang bagaimana yang tersedia dan harus ada sehingga system khilafah bisa eksis di masa itu.

Tampaknya juga ada ketidakjujuran dalam mengakui kenyataan sejarah itu sendiri. Jika sistem khilafah adalah yang terbaik bagi manusia (umat Islam) dan di mata Tuhan, mengapa kejayaan khilafah bisa hancur? Mengapa pula dalam suksesi kekuasaan antar khalifah (sepeninggal Rasul) itu selalu disertai pertumpahan darah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun