Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ijazah Palsu dan Uji Lab Palsu, Potret Buram Peradaban

29 Mei 2015   00:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dua pekan terakhir bulan Mei 2015 ini rakyat Indonesia disuguhi dua dagelan paling lucu jika dipandang menggunakan kacamata akal sehat, memalukan jika dilihat dengan kacamata keadaban, dan menyedihkan bila dilihat memakai kacamata kebangsaan (kenegaraan).

Pertama, kasus ditemukannya beras yang diduga dioplos dengan bahan plastic. Kedua, terungkapnya ijazah dan gelar bodong yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang juga diduga bodong alias aba-abal.

Beras Palsu

Kita mulai saja dengan kasus beras palsu, beras sintetik, atau (apa pun sebutan tepatnya) beras plastic. Kelucuan pertama adalah tidak satu katanya Mendagri dengan Wapres. Mendagri, tentunya berdasarkan tanggung jawab moralnya pada rakyat, buru-buru merespon keresahan masyarakat dengan mengeluarkan edaran kepada para kepala daerah untuk melakukan sidak ke pasar-pasar guna memastikan sejauh mana peredaran beras yang tercuriga palsu tersebut. Entah apa yang terjadi setelah itu Wapres Jusuf Kalla memberi keterangan kepada public yang isinya bertolak belakang dengan semangat dan keyakinan Mendagri Tjahjo Kumolo.

Kelucuan kedua kasus beras plastik ini adalah pada perbedaan hasil uji laboratorium.  Laboratorium PT. Sucopindo memastikan bahwa sampel beras yang didapat dari pelapor positif mengandung bahan dasar pembuatan pipa dan kabel seperti: BBP (Benzyil butyl phatalate ), DEHP (bis (2-ethylexyl phatalate)), DINP (Diisionyl Phatalate).

Hasil uji yang dilakukan oleh BUMN yang selama ini sangat terpercaya itu dimentahkan oleh Kapolri Badrodin Haiti di hadapan Sidang Kabinet terbatas. Hasil analisis yang dilakukan oleh  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Laboratorium Forensik Polri bertolak belakang dengan hasil Sucopindo.  Perbedaan itu, kata Kapolri,  karena PT. Sucopido menggunakan alat dan metode yang berbeda.

Akal sehat orang-orang terdidik dalam sains, khsusnya kimia,  akan melihat kejadian ini sebagai sesuatu yang memalukan. Seperti diketahui pengujian beras sintetik ini menggunakan sampel yang sama. Dalam dunia kimia analitik, alat dan metode yang berbeda, umumnya hanya menyebakan derajat ketelitian kuantitatif. Misalnya, metode X dan alat Y mampu mengukur hingga dua digit di belakang koma, sedangkan metode lainnya mungkin bisa sampai 4 hingga 6 digit.  Bukan pada jenis bahan.

Laboratorium mana yang telah melakukan kesalahan? Apakah karena Sucopindo sendirian, pastilah dia yang salah (toh kalau dilakukan voting dia pasti kalah suara).  Atau, jangan-jangan….

Perbedaan sikap dan tindakan antara Mendagri dengan Wapres dari sudut pandang kepemimpinan (negara) jelas  sangat memprihatinkan. Pernyataan yang terkesan saling bertolak belakang  antara satu petinggi dengan petinggi lain dalam satu kabinet hanya menggabarkan satu hal, tidak berjalannya komunikasi dan koordinasi yang baik anta relit.

Kalaulah bukan karena komunikasi dan koordiansi yang buruk, kejadian ini setidaknya menunjukkan bahwa sensitivitas anggota kabinet pimpinan Jokowi ini terhadap persoalan rakyat tidak sama. Ada yang terlalu responsif dan proaktif, seperti yang ditunjukkan Tjahjo Kumolo, tetapi lebih banyak yang terlalu lamban—baru  merespon ketika masalahnya sudah meluas dan tak bisa lagi ditutupi.

Ijazah dan Gelar Palsu

Ditengah kontroversi kasus beras plastic itu public disuguhi aksi sidak Menteri Ristek dan Dikti Mohamad Nasir yang menemukan adanya ‘jual-beli’ ijazah dan gelar kesarjanaan. Kejadian ini, meski bisa dikategorikan sebagai dagelan, tetapi sama sekali bukan sesuatu yang lucu, melainkan sesuatu memalukan dan memprihatinkan.

Memalukan karena dunia pendidikan kita gagal mengubah pandangan dan sikap masyarakat terhadap hakikat ijzah dan gelar akademik. Kegagalan dunia pendidikan ini, memang, tidak serta-merta dapat ditudingkan pada para pendidik (guru dan dosen) saja, tetapi juga kepada masyarakat dan pemerintah.

Siapa yang menjadikan ijazah/gelar akademik sebagai kebanggaan diri/keluarga? Masyarakat. Masyarakatlah yang bangga, dengan beragam motif, memajang gelar di depan dan di belakang nama. Bahkan orang yang sudah mati pun, gelar akademik masih disematkan di depan atau belakang namanya.

Sepanjang sikap dan pandangan masyarkat kita terhadap hakikat ijazah dan gelar akademik masih ‘naif’ selama itu pula perburuan ijazah dan gelar abal-abal akan terus berlangsung.

Kebijakan pemerintah juga turut berkontribusi terhadap perburuan ijazah bodong ini. Salah satunya, adalah menjadikan ijazah sebagai persayaratan pertama dan utama dalam perekrutan PNS, anggota TNI dan POLRI, bukan didasarkan pada skill/kecakapan yang teruji .

Kebijakan lain pemerintah yang menyuburkan bisnis ‘jual-beli’ ijazah model STIE (sekolah tidak ijasah entuk) ini adalah kebijakan penyesuaian pangkat/jabatan dengan ijazah terakhir (tertinggi) yang diperoleh seorang pegawai setelah dia diangkat sebagai PNS.

Contoh kasus: Seorang PNS pertama kali diangkat beradasarkan ijazah SMA sederajat pada Golongan IIA. Setelah diterima dia melanjutkan studi, katakanlah di sebuah PTS antah-berantah sehingga singkat cerita dia berhasil mendapatkan ijazah sarjana S1. Berdasarkan praturan, PNS ini berhak menyesuaikan pangkat/jabatannya dengan ijzah tertinggi yang dimiliki yaitu IIIA.  Dengan kata lain PNS ini loncat golongan dengan melewati  3 ruang golongan (IIB, IIC, dan IID) sekali gus.  Lewat penyesuaian itu PNS itu pun berhak mendapat jabatan yang lebih tinggi, bergengsi, dan ‘basah’.

Kebijakan ini berlangsung selama puluhan tahun. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini saja kebijakan penyesuaian ijazah ini sudah agak dipeketat, karena harus mempertimbangkan linieritas (kesesuaian bidang  ilmu dengan pekerjaan) dan status akreditasi PT yang mengeluarkan ijazah.

Ringkas kata, dua kasus tentang kepalsuan ini, beras plastik dan ijazah bodong, bukanlah masalah kecil.  Meskipun bisa ditepis atau ditutupi sesaat untuk kepentingan politik dan mencegah meluasnya keresahan, kedua kasus ini adalah potret buram peradaban kita sebagai bangsa.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun