Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Harkitnas dan Trisakti yang Mati Suri

20 Mei 2015   00:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 20 Mei setiap tahun kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas)Indonesia. Mengapa 20 Mei? Dari sejarah perjuangan bangsa kita mengetahui bahwa tanggal 20 Mei adalah hari berdirinya perkumpulan pelajar yang dipelopori oleh R. Soetomo dan kawan-kawannya: M. Soeradji, M. Muhammad Saleh, M. Soewarno, M. Goenawan, Soewarno, R.M. Goembrek, dan R. Angka yang mereka beri nama Boedi Oetomo.  “Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” artinya luhur atau baik. Tujuan pembentukan perkumpulan ini adalah untuk mendorong upaya mengejar ketertinggalan bangsa yang pada masa itu terpuruk di bawah penjajahan Belanda.

Hari ini (20 Mei 2015), tepat 107 tahun pasca berdirinya Boedi Oetomo, Indonesia telah mengalami beberapa momen/peristiwa sejarah yang sangat penting: penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, Orde Lama (Rezim Soekarno), Orde Baru (Rezim Soeharto); dan Era Reformasi.

Pertanyaannya kemudian, setelah 107 tahun kesadaran akan ketertinggalan bangsa itu dibangkitkan oleh Boedi Oetomo, apakah ketertinggalan sudah berhasil kita lewati?  Untuk mempermudah mengukur keberhasilan mengejar ketertinggalan itu, ada baiknya kita gunakan indicator yang pernah dicita-citakan founding father kita Bung Karno yang disebut Trisakti: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.

Kedaulatan Politik (dan Hukum)

Mau diakui atau tidak, kita belum bisa dikatakan benar-benar berdaulat dalam politik. Proses pergantian pemimpin sejak dari Soekarno hingga Joko Widodo selalui disertai isu adanya keretlibatan asing. Pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto misalnya diwarnai isu adanya keterlibatan CIA (baca: Amerika Serikat).

Selanjutnya, kejatuhan rezim Soeharto tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari ‘ketersinggungan’ Amerika Serikat atas ulah Soeharto yang mulai melirik  Rusia sebagai mitra kerjasama ekonomi. ‘Pembelotan’ itu terjadi karena Soeharto kecewa terhadap AS  yang tidak lagi mendukung kebijakan Indonesia (baca: Soeharto) atas Timor Timur.

Isu keterlibatan pihak asing, khususnya AS, dalam pergantian presiden RI juga merebak dalam pilpres 2014 lalu. Kedatangan mantan Presiden AS Bill Clinton di momen bersamaan dengan pengumuman hasil pilpres oleh KPU dituding oleh pihak tertentu punya kaitan dengan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Lepas dari benar atau tidaknya, karena memang sulit dibuktikan, isu keterilbatan asing dalam pergantian rezim di Indonesia membuktikan bahwa kita belum sepenuhnya berdaulat secara politik.

Lebih dari itu, intevensi asing tidak terbatas pada proses politik melainkan juga ‘terasa’ dalam penegakan hukum. Kita tentu belum lupa dengan pemberian grasi oleh Presiden SBY kepada ratu narkoba asal Australia  Schapelle Corby dengan pengurangan hukuman selama 5 tahun. Meski tidak ada bukti SBY ditekan oleh Australia, tetapi alasan pemberian grasi yang sulit diterima logika hukum banyak pakar kukum menuding ada intervensi dalam kasus tersebut.

Kemandirian Ekonomi

Untuk bidang ini rasanya tidak perlu pakar  ekonomi yang menjelaskannya. Orang awam pun pasti akan sepakat bahwa kita belum mandiri secara ekonomi. Kita masih berhutang kepada asing, kita butuh investor asing, kita masih mengirim TKI/TKW ke manca negara, kita pun masih bergantung pada impor untuk beragam kebutuhan industry bahkan bahan pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai. Akan sampai kapankah kita harus bergantung pada asing dalam bidang ekonomi?

Berkepribadian secara sosial-budaya

Dalam kehidupan social budaya, kita juga haarus jujur mengakui bahwa karakter kepribadian bangsa kita sudah terkikis (beruntung belum terhapus semuanya). Perubahan karakter inilah yang menjadi keprihatinan Presiden Joko Widodo, yang mendorong beliau meluncurkan gagasan ‘revolusi mental’ yang terminologinya sempat memicu kontroversi itu.

Karakter kepribadian bangsa yang dirasakan berubah oleh Jokowi itu adalah: kesantunan, ramah tamah, budi pekerti, dan gotong royong. Pertanyaannya: Mengapa, apa penyebabnya? Jawabannya sangat kompleks!

Mempertanyakan factor sebab-akibat terjadinya pergeseran karakter budaya analog dengan mempertanyakan “mana yang lebih dulu, telur  atau ayam”. Oleh karena itu kita hanya bisa mengidentifikasi fenomena yang bertemali atau dapat dipertalikan dengan perubahan karakter kepribadian itu.

Contoh 1: Mungkin hanya di negeri kita ini ada istilah  makanan/masakan kampung dan ada istilah musik kampungan. Bukankah makanan dan music masalah selera? Siapa yang bisa mengukur selera seseorang? Siapa pula yang berhak mengatakan selera saya tinggi, selera anda rendah?

Karena ada klasifikasi sperti itu maka jangan heran jika ada orang memaksakan diri (mengaku-aku) bahwa dia memliki makanan favorit yang namanya serba asing. Di bidang music juga demikian, banyak orang tahan bersusah payah dan mengeluarkan uang untuk membeli tiket konser penyanyi atau boy/girl band asing  demi untuk memperlihatkan bahwa dirinya adalah penggemar berat music/musisi kelas atas. Saking ingin tampak sebagai penggemar berat tidak jarang gaya rambut dan model pakaian si penyanyi pun ditiru (mimic) total.

Contoh 2: Berapa banyak dari kita yang bangga memamerkan barang-barang rumah tangga, pakaian, dan perhiasan buatan lokal, tanpa merek, dan berharga murah dibandingkan dengan yang buatan luar negeri, bermerek terkenal, dan berharga mahal? Jawablah dengan acuan diri masing-masing.

Dapatkah kita berharap banyak pada orang, golongan orang, atau generasi yang lebih bangga menyanjung budaya asing ketimbang budaya sendiri sebagai pelopor penegak karakter bangsa? Entahlah. Yang pasti kondisi mental seperti itu harus (meminjam istilah Jokowi) direm. Jika dibiarkan, kita akan menjadi bangsa yang tidak berkarakter, peniru, gamang, minder dan tidak percaya diri. Oleh sebab itu ‘revolusi mental’ patut kita dukung.

-------------------------------------------------------

Berdasarkan fakta-fakta diatas tidaklah berlebihan dan bukan pulan terlalu sentimental jika disimpulkan bahwa  Trisakti sedang mati suri. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa ini harus kembali disadarkan, bangkit, dan berjuang bersama melanjutkan perjuangan Boedi Oetomo guna mewujudkan Trisakti: berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian.

SELAMAT MEMPERINGATAN HARI KEBANGKITAN NASIONAL

Salam Kompasiana.

Sumber bahan:

Boedi Oetomo

Trisakti Bung karno

Bill Clinton 1

Sri Bintang Pamungkas vs Bill Clinton

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun