Ketika ditanya mahasiswanya tentang apa padanan istilah-istilah yang ditayangkannya di layar saat perkuliahan, seorang dosen bergelar PhD lulusan Monash University Australia menjawab: “Makanya belajar Bahasa Inggris itu penting, gunanya supaya bisa paham term-term dalam Science and Technology. Saya lebih suka menggunakan term-term aslinya, karena bahasa Indonesia itu miskin kosa kata ilmiah, gatek (gagap teknologi), dan kurang gaul”.
Mendengar cerita itu seorang koleganya yang Pengajar Bahasa Indonesia di universitas yang sama (sebut saja si Indo) memberanikan diri mendatangi sang PhD (sebut saja Inggi) untuk bertukar pikiran.
Indo: Mas Inggi saya ada sedikit masalah dengan beberapa istilah kebahasaan, tetapi saya tidak memiliki kamus yang memadai. Mungkin Mas Inggi bisa bantu pimjami saya kamus?
Inggi: Kamus bahasa Inggris saya itu banyak: mulai dari kamus paling sederhana Hasan Sadili, Oxford Advanced Learner, Miriam Webster, hingga Webster New Encyclopedic Dictionary. Kamus apa yang mas Indo perlukan?
Indo: Wah, maaf bukan itu Mas. Mas kan tahu saya pengajar Bahasa Indonesia, saya kebetulan belum punya KBBI, yang saya miliki masih KUBI lama. Kalo mas Inggi punya saya mau pinjam KBBI-nya.
Inggi: Apa itu KBBI? Apa pula itu KUBI?
Berdasarkan jawaban sang PhD tersebut tahulah si Indo mengapa si Inggi bersikap meremehkan bahasa ibunya. Penilaiannya bahwa Bahasa Indonesia itu kurang gaul, gatek, dan tidak ilmiah bukan didasarkan pada pengetahuan dan ketrampilan berbahasa sebagaimana mestinya seorang cendikia.
Dia meremehkan Bahasa Indonesia karena dia mengira bahwa jumlah kosa kata Bahasa Indonesia itu hanya sebanyak yang ada di benaknya saja. Dia tidak tahu bahwa jumlah kata dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) itu puluhan ribu.
Ketika si Indo mengajukan pertanyaan apa kata Inggrisnya untuk kata nenek, kakek, buyut, cucu, dan cicit, sang PhD tertegun. Tambah bingung lagi ketika ditanya apa istilah ilmiah-ekonomi nya untuk kata kulakan (ini istilah ekonomi asli Indonesia, khususnya Jawa).
Si Inggi juga tampak gelagapan saat ditanya oleh si Indo mengapa komputer kesayangannya itu disebut laptop dan juga mengapa alat penggeser penunjuk pada laptop itu disebut mouse.
Sang PhD kembali berkerut dan sedikit “sewot” ketika ditanya apa arti kata vagina. Mengapa kata vagina juga dipakai pada tumbuhan (untuk menyebut pelepah).
Kalau kita mau sedikit bersusah payah membuka kamus Bahasa Indonesia sesungguhnya Bahasa Indonesia sangat kaya kosa kata. Yang miskin kosa-kata adalah para penggunanya. Kemampuan bercakap-cakap sehari hari janganlah dijadikan ukuran kekayaan Bahasa Indonesia.
Di satu segi memang kita tidak memiliki kata/istilah untuk sustu objek ataukonsep karena objek atau konsep tadi bukan lahir/terbentuk/dirumuskan oleh kita. Tetapi dalam segi lainnya kata Indonesia jauh lebih kaya ketimbang Bahasa Inggris, contohnya adalah kata sapaan (kakek, buyut atau cicit) dan istilah niaga (kulakan ) tadi.
Dalam bidang ilmu dan teknologi juga demikian. Istilah-istilah yang biasa disebut istilah ilmiah atau istilah teknologi dibuat setelah ada bendanya, bukan sebaliknya istilah menjadi belenggu untuk tidak berani membuatkan padanannya, contohnya laptop , mouse, dan vagina.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H