Siapa tak kenal Andrinof A Chaniago, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang baru saja diganti oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (12/8/2015)?
Ya, jauh sebelum Jokowi menarik perhatian rakyat Indonesia dan dipandang layak menjadi Presiden RI, lelaki kelahiran Padang 3 November 1962 ini sudah menjadi ‘selebriti’. Bagaimana tidak, wajah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) sudah familiar di mata pemirsa tivi republik ini karena seringnya beliau diundang mengisi acara dialog atau talk show sebagai narasumber masalah sosial-politik.
Nama Pendiri Center for Indonesian Regional dan Urban Studies (CIRUS) ini melambung sejak bukunya berjudul “Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik Akar Krisis Indonesia” terbit tahun 2001. Sejak itu mantan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa dan Ketua Umum Senat Mahasiswa UI ini dikenal dan sebagai pakar Ilmu Pembangunan dan Kebijakan Publik.
Dalam hal pemikiran, mantan aktivis mahasiswa yang terkenal sangat kritis itu selalu memunculkan gagasan-gagasan baru yang cenderung melawan arus mainstream. Keahlian dan sikapnya yang cenderung gigih dan idealis itulah agaknya yang membuat Jokowi merekrutnya sebagai ‘think tank’ dalam tim pemenangannya saat kampanye pilpres 2014.
Sejak itu pula Andrinof disebut-sebut sebagai salah satu ‘orang dekat’ Jokowi. Bahkan, program-program pembangunan yang diusung (dijanjikan) Jokowi saat kampanye pilpres 2014, konon, diotaki oleh Andrinof.
Mengingat keahliannya yang mumpuni, sikapnya yang cenderung idealis, perannya yang cukup ‘berjasa’, dan hubungannya yang dekat dengan sang presiden maka timbul pertanyaan: mengapa Andrinof dipecat? Mata awam saya hanya menemukan dua kemungkinan.
1. Andrinof terlalu idealis dan kaku
Di awal pengangkatan dirinya sebagai Menteri PPN/Ketua Bappenas, banyak kalangan ekonom berpandangan dan berharap Kepala Bappenas harus dekat dan pandai berkomunikasi dengan Presiden, menteri lain dan pemerintah daerah agar perencanaan yang disusun menjadi komprehensif, dapat diimplementasikan dengan baik oleh para pemangku kepentingan.
Boleh jadi idealismenya membuat anggota tim Visi Indonesia 2033 ini bersikap kaku. Kekakuan ini boleh jadi menjadi hambatan dalam membangunan komunikasi dengan beragam pemangku kepentingan, yang memang memiliki beragam kepentingan itu.
Boleh jadi juga, idealisme dan kekakuan komunikasi itu dipandang oleh banyak pihak sebagai sandungan. Jika dibiarkan, banyak pihak pendukung Jokowi yang berharap mendapat ‘balas budi’ akan gigit jari.
Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka public (saya khususnya) pantas berbangga terhadap Andrinof. Bahwa, seorang profesinal-akademisi bisa tetap idealis mengemban amanat rakyat, tidak mudah terjebak ke dalam politik transaksonal yang merugikan bangsa dan negara. Meski dengan bersikap seperti itu dia harus melepaskan jabatannya sebagai anggota cabinet.
2. Andrinof memang tidak memiliki kapabilitas
Jika melihat jargon Kabinet Kerja pimpinan Jokowi ini, yaitu kerja, kerja dan kerja, serta alasan reshuffle kabinet yang konon berdasarkan hasil evaluasi kinerja menteri maka patut diduga bahwa Andrinof termasuk salah satu menteri yang dinilai tidak kapabel.
Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi maka sebagai rakyat kita patut bangga dengan Presiden Jokowi. Seluruh anak bangsa ini berharap agar para anggota cabinet yang bertanggung jawab dalam setiap upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat benar-benar orang yang tepat.