Sebagaimana telah diberitakan, Selasa 24 Juli 2012, belasan orang anggota FPI Jawa Tengah melakukan aksi sweeping terhadap warung makan dan jajanan di wilayah Bandungan, Kabupaten Semarang. Pimpinan kelompok tersebut, KH Ahmad Rofi’I mengatakan, dirinya sudah mendapat mandat dari FPI Pusat untuk memerangi segala sesuatu maksiat atau bentuk yang tidak menghormati bulan suci Ramadan (http://www.suaramerdeka.com/).
-------------------------------------------------------------------
Salah satu alasan ormas-ormas islam menginginkan tempat-tempat hiburan malam dan warung-warung penjual makanan ditutup pada siang hari selama bulan Ramadhan adalah untuk menjamin ketenangan umat Islam beribadah di bulan suci ini. Sungguh sebuah keinginan dengan alasan yang wajar, manusiawi, bahkan boleh disebut mulia. Meskipun begitu menarik dipertanyakan:
·Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ketenangan beribadah itu?
·Benarkah aktivitas di tempat hiburan malam dapat mengganggu ibadah umat Islam.
·Benarkah rumah makan dan warung-warung penjual makanan yang buka siang hari menggoda orang untuk tak berpuasa?
·Apa/siapa sesungguhnya yang paling menentukan ketenangan umat beribadah, ibadah Ramadhan khususnya?
Ketenangan beribadah
Karena rasa tenang adalah perkara subjektif, maka kondisi yang dapat dianggap mengusik ketenangan itu pastilah berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Suara bising kendaraan, suara televisi, suara musik boleh jadi menjadi penghalang bagi seseorang untuk melakukan ibadah sholat secara khusuk, tetapi belum tentu bagi orang lain.
Jika setiap muslim menghendaki suasana ‘tenang” sesuai keriteria yang berlaku untuk dirinya agar dapat beribadah maka dapat dipastikan semua aktivitas social ekonomi masyarakat harus dihentikan. Itulah satu-satunya cara paling masuk akal untuk menciptakan suasana tenang untuk semua orang.
Tetapi, karena hidup ini bukan hanya untuk ibadah (ritual agama) maka keinginan untuk berada dalam suasana tenang ideal itu adalah sesuatu yang tidak realistis. Dikatakan tidak realistis, karena untuk bertahan hidup manusia butuh makan. Untuk itu ia harus menjalani aktivitas ekonomi dan interaksi social.
Aktivitas hiburan malam
Anggapan bahwa aktivitas hiburan malam (diskotek, karaoke, panti pijat dsb) dapat mengganggu ketenangan ibadah puasa umat islam juga pantas dipertanyakan.
Hiburan malam, sesuai namanya, berlangsung malam hari sedangkan ibadah puasa berlangsung siang hari. Jadi jelaslah keduanya tidak perlu dipertentangkan karena berlangsung pada waktu yang berbeda.
Hanya saja selama bulan Ramadhan kaum muslim bukan hanya wajib berpuasa di siang hari tetapi juga disunnahkan beribadah malam hari di rumah masing-masing atau masjid-masjid (tarawih, witir, tadarus, atau berzikir). Jika hiburan malam beroperasi selama bulan puasa dikhawatirkan kekhusukan ibadah malam itu akan berkurang.
Namun demikian, ibadah sunnah malam hari selama bulan Ramadhan itu umumnya berlangsung di rumah, mushala, atau masjid sementara hiburan malam berlangsung di tempat-tempat khusus yang (karena telah diatur undang-undang) tertutup dan tidak di kompleks pemukiman atau dekat rumah ibadah.
Karena relative tertutup, bunyi dan suara music serta aksi tarian di tempat-tempat hiburan itu biasanya tidak terdengar atau terlihat dari luar, jadi tidak mungkin akan mengganggu ketenangan orang yang beribadah malam di rumah atau di mushala dan mesjid.
Sebaliknya, mushala dan masjid lebih bisa mempengaruhi masyarakat dengan baca-bacaan religiusnya melalui pengeras suara. Toh hingga saat ini tidak ada yang berani melarang penggunaan pengeras suara di mesjid untuk adzan, sholat, kultum, tadarus, dan lain-lain.
Berdasarkan , fakta-fakta itu maka kekhawatiran bahwa aktivitas tempat-tempat hiburan malam dapat mengganggu kekhusukan umat Islam beribadah adalah sesuatu yang berlebihan.
Warung makanan buka siang hari
Seingat saya, kebiasaan warung kopi atau rumah makan buka siang hari dalam bulan Ramadhan sudah ada sejak jaman kanak-kanak saya . Warung-warung itu buka tetapi pintu, jendela atau tendanya semi tertutup. Dengan cara itu orang yang sedang makan/minum di dalamnya tidak terlihat dari luar.
Jadi, orang yang masuk ke warung tersebut memang orang yang tidak berniat puasa. Sedangkan orang yang betul-betul ingin berpuasa tentu tidak akan, dan memang tidak perlu, menengok apalagi masuk ke warung-warung tersebut.
Menariknya, pada masa itu tidak pernah terjadi konflik. Sebab semua orang—pemilik warung, konsumen, dan masyarakat umum—tahu dan menghargai posisi dan kepentingan masing-masing.
Sekarang kita sering disuguhi tontonan yang membuat miris, dimana sekelompok orang melakukan tindakan kekerasan demi memaksakan pendapat dan kehendaknya (sepihak) agar semua aktivitas yang dapat menggoda ‘iman’ orang berpuasa dihentikan.
Jika alasan bahwa warung-warung tenda dan restoran yang buka siang hari itu bisa menggoda orang maka banyak sekali aksi-aksi yang menggoda harus pula di hentikan. Iklan minuman dan makanan yang ditayangkan televisi adalah contoh aksi yang jelas-jelas ditujukan menggoda selera penonton harus dilarang pula.
Perusak ketenangan ibadah puasa yang sesungguhnya
Ketenangan beribadah umat beragama (puasa misalnya) sesungguhnya bukan hanya ditentukan oleh kondisi fisiologis yang berkaitan dengan rasa lapar dan haus, melainkan juga oleh kondisi prikologis.
Kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kemarahan, kecemburuan adalah contoh gejolak/kondisi psikologi yang bisa berpengaruh besar pada kekhusukan beribadah seseorang.
Aktivitas tempat hiburan malam, warung dan restoran yang buka siang hari, kecil kemungkinannya mengusik ketengan seseorang dalam beribadah puasa. Sebaliknya ketidak tenangan batin yang disebabkan oleh tekanan hidup yang berat bisa jadi lebih besar pengaruhnya pada kekhusukan ibadah.
Tuntutan kebutuhan keluarga yang kian tinggi, hutang yang belum terlunasi, kenaikan harga yang terus melambung adalah contoh kondisi yang menekan, yang bisa membuat seseorang bukan hanya tidak tenang, tetapi juga tidak sempat, melakukan ibadah.
Jadi, berdasarkan sudut pandang psikologi, penyebab bulan Ramadhan di Indonesia ini kehilangan nuansa sakralnya adalah pemerintah dan pengusaha.
Pemerintah tidak pernah tegas, atau memang tidak mampu, menjamin rasa tenang masyarakat dengan kebijakan yang meringankan beban masyarakat. Salah satu contohnya kegagalan pemerintah menjamin pasokan bahan kebutuhan pokok masyarakat agar harga-harga bisa dikendalikan.
Pengusaha lebih tak menghargai kesucian Ramadhan. Alih alih memanfaatkan bulan suci untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan pada sesama, tetapi justru terkesan serakah mengeruk untung sebanyak-banyaknya. Dengan dalih mengikuti hukum pasar, mereka seenaknya menaikkan harga setinggi-tingginya tanpa peduli tingkat kemampuan masyarakat, yang nota bene adalah saudaranya sebangsa dan seagama.
Tebar citra, mencari untung di atas kesempitan rakyat
Negara-negara yang bagi muslim Indonesia dijuluki kafir seperti Inggris dan Amerika saja biasa menerapkan potongan harga untuk beragam sektor jasa (transportasi) dan barang kebutuhan (sembako) di saat-saat rakyatnya harus berkumpul di rumah (family gathering). Pemerintah dan penguasaha kita justru berlomba mengeksploitasi demand masyarakat dengan menaikkan tariff angkutan (tuslah) dan harga barang dengan dalih hukum pasar.
Kalau pun ada tindakan pejabat turun ke pasar atau menggelar operasi pasar, maka tindakan itu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan citra dirinya saja, bukan untuk mengatasi masalah.
Jadi, di republik ini, rezim bersama pengusahalah yang tidak memiliki kepekaan nurani terhadap keadaan dan penderitaan rakyatnya. Jika sekarang ini banyak masyarakat yang kurang fokus beribadah Ramadhan bukan karena banyaknya godaan biologis di sekitar kehidupannya, melainkan karena tidak memiliki ketenangan bathin akibat tekanan ekonomi yang terlalu berat.
Wallahu’alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H