Dua tau tiga dekade lalu ada beberapa industri besar beroprasi di sini, sebut saja Mitsubishi, Sony, dan Nike. Belakangan semuanya hengkang akibat tidak tahan dengan kebobrokan birokrasi di republik ini. Sekarang, Indonesia sepertinya hanya menarik bagi investor asing yang bergerak dalam eksploitasi sumber daya alam (pertambangan) dan/atau jasa konstruksi (pemborong), itu pun disertai persayaratan: tenaga kerjanya, terlebih yang ahli, haruslah dari mereka.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini wajar bila makin hari jumlah pengangguran makin tinggi. Wajar pula bila jutaan orang harus ‘blusukan’ ke mancanegara untuk mencari makan sebagai buruh kasar atau babu.
Bangsa yang pikun
Apa yang salah dengan bangsa Indonesia dan NKRI, sehingga sulit untuk tumbuh sehat/makmur, kuat, dan bermartabat? Sepertinya bangsa ini sedang mengalami kepikunan. Ironisnya, kepikunan itu menyerang terlalu dini.
Pikun, pada manusia yang dalam dunia medis disebut demensia, ditandai dengan salah satu, sebagian, atau semua (gejala) perubahan perilaku berikut ini :
1) Mood yang tidak stabil, mudah tersinggung, marah-marah, tidak acuh terhadap kebersihan diri.
2) Kesulitan menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu, kesulitan mengambil keputusan.
3) Mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sering salah dan lupa tempat meletakkan barang sehari-hari, lupa menyiapkan makanan, atau sudah meletakkan makanan dimeja tetapi lupa menyantapnya.
4) Sering mengalami disorientasi (lupa arah), lupa/tidak mengenali jalan yang biasa dilewati sehari-hari.
Layaknya orang pikun, bangsa ini juga mengalami gejala yang analog:
1) Mudah tersinggung, mudah marah, dan mudah ngamuk nyata terlihat dalam perilaku keseharian bangsa kita dewasa ini. Bicara kasar di luar batas kepatutan sudah menjadi kebiasaan. Menuntut kenaikan upah disertai perusakan jadi lumrah. Kecewa karena kalah dalam kontestasi politik dan proses hukum melakukan pengerahan massa, demo yang tidak jarang disertai aksi perusakan juga sudah menjadi lazim.
Bahkan, hanya karena sakit hati, banyak pejabat negeri yang tak segan balas dendam terhadap musuh-musuh poiltiknya menggunakan undang-undang sebagai senjata.
2) Kesulitan menemukan rumusan (kesepakatan) yang tepat untuk dijadikan pegangan bersama dalam mengelola negara. Dalam bidang politik dan hukum, ambil contoh soal KPK dan Pilkada. Para pakar dan politisi sibuk berdebat tentang sistem apa (undang-undang) yang tepat untuk mengatur kinerja KPK dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetapi gagal mengedepankan substansi keberadaan KPK itu sendiri dan gagal memahami aspirasi rakyat dalam soal mengapa, untuk apa, dan untuk siapa pilkada itu harus diadakan.
Dalam bidang pendidikan, kita gamang menentukan kurikulum yang pas untuk mendidik anak negeri. Bahkan soal MOS (masa orientasi studi) saja energi bangsa ini nyaris terkuras memperdebatkan soal penting-tidaknya acara yang berbau feodal itu diadakan atau dipertahankan.
3) Untuk memahami kebutuhan utama rakyat pun elit bangsa ini sepertinya mengalami kesulitan, apalagi untuk memenuhinya. Sebut saja soal harga barang kebutuhan pokok. Rakyat sejatinya tidak terlalu hirau dengan kurs dolar, tata kelola migas, atau dwelling time barang impor di pelabuhan, yang rakyat inginkan adalah harga-harga kebutuhan terjangkau dan barangnya selalu tersedia.
Dalam bidang keamanan, rakyat juga tak perlu tahu soal undang-undang HAM. Yang penting bagi mereka, kemanapun mereka berpergian di dalam wilayah republik tercinta ini, mereka aman. Tidak ada rampok, begal, atau pemerkosa yang mengintai dan mengancam nayawa mereka.
4) Layaknya orang pikun, bangsa ini pun mengalami disorientasi. Kemana bangsa ini akan dibawa? Tidak lagi jelas.