Hari ini, Selasa (14/7/2015), pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis (OCK) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas sangkaan menyuap Hakim PTUN Medan. Malam ini, usai menjalani pemerikasaan elama lebih 5 jam, OCK keluar gedung KPK dengan rompi orange, pakaian khas tahanan KPK.
Bagi saya yang tidak begitu paham Ilmu Hukum kasus ini sungguh mengusik akal sehat. Pertanyaan saya adalah jika pengacara sekaliber OCK harus melakukan suap—tentunya untuk menguntungkan klien—maka bagaimana dengan pengacara-pengacara yang tidak terkenal?
Pertanyaan lanjutannya adalah apakah kemenangan-kemenangan OCK dalam berpekara saat membela kliennya disebabkan oleh kepiawaiannya dalam bersilat lidah, dalam artian memang karena keahlian-hukumnya. Atau karena kehebatannya menjalin ‘silaturahmi’ dengan para pengadil?
Pertanyaan ini tentu tidak terbatas untuk OCK saja, tetapi juga tertuju kepada para pengacara terkenal lainnya. Bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa banyak pengacara berhasil memenangkan kliennya dalam suatu proses hukum meski kemenangan itu sangat terasa ketidak-adilannya?
Berapa banyak kasus-kasus kriminal atau perdata yang dalam ukuran akal sehat publik mustahil tersangkanya/tergugatnya lolos, tetapi karena dibela oleh pengacara ternama toh si tersangka itu akhirnya bebas? Sudah tak terbilang jumlahnya.
Kasus yang menimpa OCK ini boleh jadi hanya puncak gunung es dari perilaku tak terpuji pengacara negeri ini. Demi kemenangan mereka menggunakan beragam cara non hukum.
Pertanyaan (keraguan) yang paling mendasar dari kasus OCK ini adalah apakah para pengacara terkenal di negeri ini terkenal karena kepiawaiannya dalam beradu argumen dan pasal-pasal dalam kitab undang-undang? Atau kah karena kuatnya jaringan si pengacara tersebut dengan banyak oknum penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim)?
Entahlah...
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H