Air mata dan darah para korban bencana alam gempa bumi di Nepal masih mengalir. Puing-puing bangunan yang roboh masih berserakan. Korban hidup maupun mayat-mayat yang terkurung di bawah puing itu pun belum semuanya ditemukan,  akan tetapi sebagian ustadz dan/atau kiyai di Program Damai Indonesiaku di TV One (Minggu 3 Mei 2015) menyebut  bencana dahsyat itu sebagai azab Tuhan atas dosa-dosa manusia yang berbuat maksiat.  Sasaran tembak para ustadz itu pun meluas ke isu-isu sosial politik terkini di tanah air, misalnya isu legalisasi pelacuran dan minuman keras yang digulirkan gubernur DKI, Ahok, baru-baru ini.
Membodohkan dan menyesatkan
Memang, tidak ada yang salah menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai sumber pelajaran. Yaitu pelajaran konkrit tentang bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak menghadapi sebuah peristiwa alam dan sosial.
Tetapi mengaitkan penyebab peristiwa alam, seperti gempa bumi, dengan perbuatan maksiat terlebih bila yang dimaksud perbuatan maksiat itu hanya soal perzinahan, homo seksual, pelacuran, minuman keras dan perjudian, sungguh sangat membodohkan dan menyesatkan umat.
Bencana alam gempa bumi, gunung meletus, badai, topan, banjir, tanah longsor, tsunami, dan kemarau panjang adalah peristiwa alamiah yang terjadi karena proses-proses yang terikat pada hukum sebab-akibat di alam fisik ini sendiri.
Bencana geologis seperti gempa bumi dan gunung meletus—termasuk tsunami—terjadi karena aktivitas pergerakan lempeng-lempeng bumi. Pergerakan lempeng bumi menyebabkan terjadinya tumbukan antar lempeng. Tumbukan antar lempeng bisa menyebabkan gempa saat salah satu ujung lempeng yang bertumbukan itu patah. Tumbukan lempeng juga dapat menghasilkan tekanan dan panas yang sangat tinggi di kulit bumi. Tekanan dan panas tinggi itu bermanifestasi dalam bentuk letusan gunung berapi.
Sementara  bencana klimatologis seperti badai, topan, banjir, tanah longsor dan kemarau panjang berhubungan dengan inklinasi sumbu bumi terhadap bidang orbitnya. Inklinasi itu menyebabkan permukaan planet bumi yang mengarah ke matahari berubah secara siklik. Perubahan suhu menyebabkan perubahan tekanan udara atmosfer. Perubahan tekanan udara itulah yang menimbulkan gerakan massa udara yang dapat menjadi badai, topan, petir dan hujan.
Dengan demikian, baik bencana geologis maupun bencana klimatologis, keduanya adalah peristiwa-peristiwa alam fisik, sama sekali tidak terkait dengan moralitas manusia yang bertemali dengan seks, minuman keras, dan perjudian.
Mengaitkan penyebab bencana alam dengan ketiga parameter moralitas di atas sangatlah absurd. Alih-alih bisa menekan angka kemaksiatan justru bisa membuat orang melecehkan ajaran moral tadi karena suatu peristiwa dijelaskan dengan hal-hal yang tidak tepat, tidak relevan.
Dulu, manusia takut akan azab/bencana alam atas perbuatan maksiatnya karena manusia belum tahu hubungan sebab-akibat antara satu fenomena alam dengan fenomena alam lainnya. Sudah bukan saatnya lagi, di milenium informasi ini, menakut-nakuti umat dengan penjelasan yang tidak logis. Bila ingin mencegah perzinahan, minuman keras, narkoba dan perjudian berilah umat penjelasan logis akan dampak  konkrit yang teramati dan terukur dari perbuatan-perbuatan tersebut.
Miskin empati
Damai Indonesiaku di TV One itu, meski judulnya terkesan ‘nasionalis’, tetapi isinya adalah ‘pengajian’ dari, oleh, dan untuk umat Islam. Dengan demikian maka apa pun tema yang diusung di setiap penayangannya pastilah bertujuan untuk meyakinkan umat bahwa agama Islam itu adalah agama rahmatan lil alamin, serba baik dan sempurna. Ini pun tidak salah, sah, dan wajib hukumnya didakwahkan dari perspektif internal islam.
Tetapi, ketika sebuah tema ‘pengajian’ yang terbuka bagi publik (karena ditayangkan di TV nasional) menjadikan peristiwa bencana di negara lain dimana orang yang mengalaminya mayoritas bergama non Islam,  seperti Nepal,  maka menyebut bencana tersebut sebagai azab Tuhan kesannya menjadi lain.  Sebab dalam perspektif Islam, orang-orang non muslim itu bukanlah orang beriman, melainkan kafir.
Salah seoran juru dakwah di acara tersebut dengan terang-terangan menyatakan bahwa bencana yang menimpa orang beriman adalah ujian Tuhan, sedangkan bencana yang menimpa orang-orang orang-orang kafir adalah azab (hukuman) Tuhan. Â Jadi dengan menggolongkan gempa Nepal sebagai azab maka secara implisit terkandung arti bahwa gempa Nepal adalah hukuman Tuhan akibat ketidak-berimanan (non muslim) penduduknya.
Jika seperti itu pesan yang ingin disampaikan maka inilah yang perlu diprihatinkan dari konten program Damai Indonesiaku di TV One Minggu, 3-5-2015 itu. Alih-alih menunjukkan simpati melalui penggalangan dana bantuan dan sejenisnya, yang terlihat justru ketiadaan empati.
Sepertinya keinginan untuk dipandang sebagai kampium anti maksiat (pelacuran, minuman keras, dan perjudian) lebih menarik bagi para juru dakwah TV One itu ketimbang aspek kemanusiaan sebuah tragedi.
Jika bencana yang dialami umat agama lain dipandang sebagai  azab, sementara bencana serupa yang dialami umat seagama dipandang ujian Tuhan, maka tidak akan ada rasa empati universal dari orang seperti itu dan umatnya. Sebab di dalam benak umat akan tertanam paham bahwa orang agama lain pantas mendapat azab karena mereka tidak beriman. Karena mereka dianggap mendapat azab Tuhan, maka itu artinya mereka tidak perlu/tidak wajib dibantu.
So....
Tanpa empati dan kasih sayang terhadap sesama manusia dan makhluk Tuhan, bagaimanakah konsep agama yang rahmatan lil alamin harus dimaknai?
Salam Damai Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H