Jika dunia pendidikan bisa dianalogkan dengan jasa transportasi, maka guru dan kurikulum dapat dianalogkan dengan supir dan kendaraannya, sarana pendidikan adalah jalan rayanya, sedangkan siswa adalah para penumpangnya.
Kecakapan supir, kualitas kendaraan, dan kualitas jalan raya menjadi penentu apakah perjalanan akan berlangsung nyaman, aman, dan cepat. Kendaraan, bus misalnya, sebagus apapun ia tidak akan berfungsi maksimal di tangan supir yang tidak cakap, terlebih di jalan raya yang berlubang. Alih-alih bisa sampai di tujuan dengan cepat, ditangan supir yang tidak cakap bus bisa mengalami kerusakan sementara mayoritas penumpangnya boleh jadi terkulai lemas akibat mabuk perjalanan.
Sebaliknya di tangan supir yang cakap dan paham seluk beluk bus yang dikemudikannya, meski berjalan di jalanan yang buruk, bukan hanya bisa membuat bus melaju dengan cepat tetapibisa membuat penumpangnya merasa aman dan nyaman selama di perjalanan.
Dalam dunia pendidikan guru adalah operator kurikulum. Guru yang baik adalah guru yang paham isi, fungsi, dan tujuan kurikulum. Oleh sebab itu setiap kali terjadi perubahan/perbaikan/pergantian kurikulum selalu muncul persoalan baru.
Tradisi ganti menteri ganti kurikulum
Sepanjang sejarah republic ini, baru pada era reformasi ini (tepatnya di bawah pemerintahan SBY) kurikulum pendidikan dasardan menengah mengalami perubahan sampai tiga kali hanya dalam waktu 8 tahun.
Tahun 2004 diluncurkan (diujicobakan) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Belum sempat kurikulum ini diterapkan secara nasional, KBK diganti dengan dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006. Sebagai catatan, KTSP baru berlaku menyeluruh pada semua kelas (SD, SMP dan SMA) pada tahun 2009.
Sekarang, akhir tahun 2012, kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) sedang menggodok kurikulum baru yang akan diterapkan efektif pada tahun ajaran 2013-2014.
Terkait kurikulum 2013 itu, sesuai penjelasan Mendikbud M.Nuh, kurikulum Sekolah Dasar adalah yang paling drastic perubahannya. Jika pada kurikulum sebelumnya ada mata pelajaran IPA dan IPS, maka dalam kurikulum 2013 eksistensi kedua mata pelajaran itu dihapuskan.
Di SD nantinya hanya akan ada enam mata pelajaran saja: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni-Budaya, dan Pendidikan Olahraga (Jasmani) dan Kesehatan (Orkes).
Meski dihapuskan, tetapi materi IPA dan IPS harus diitegrasikan ke dalam enam mata pelajaran tersebut. Artinya ketika melaksanakan salah satu dari enam pelajaran itu, PPKn misalnya, guru harus pandai mencari tema yang tepat agar materi IPA dan/atau IPS ikut terkait. Karena itu M. Nuh bangga menyebut kurikulum SD 2013adalah “kurikulum tematik”.
Selanjutnya, mengingat pembelajaran tematik meniscayakan guru mendorong berkembangnya daya inquiry siswa, maka M.Nuh dengan tegas menyebut kurikulum SD 2013 itu adalah Scientific Based Curriculum (Kurikulum Berbasis Sains).
Masalahnya, sesimple dan semudah itukah pembelajaran tematik dapat dipahami dan dilaksanakan oleh mayoritas guru SD di negeri ini? Di sini agaknya, Mendikbud yang sejatinya pakar teknik elektro itu, perlu melihat realitas di lapangan.
Realitas yang membuat miris
KTSP, kurikulum yang berlaku sekarang, adalah kurikulum yang sejatinya memberi kewenangan kepada satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulumsesuai dengan keadaan dan potensi local (daerah) berdasarkan kekuatan SDM (guru) dan sarana pendidikan di sekolah masing-masing.
Faktanya, mayoritas sekolah dasar dan guru-guru SD di daerah hanya mengadopsi (membeli) buku(model) kurikulum buatan para kosultan pendidikan. Padahal selama tiga tahun (2006 -2009) sosialisasi dan pelatihan KTSP ini marak digelar. Mulai dari tingkat nasional hingga tingkat rayon, mulai dari kepala dinas pendidikan hingga kepala sekolah, mulai dari pengawas sekolah hingga para guru kelas.
Anehnya, mayoritas guru alih-alih mampu menyusun dan mengembangkan kurikulum secara mandiri, melainkan menggunakan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah jadi dalam bentuk buku-buku tebal.
Mirisnya, Silabus dan RPP yang dibeli itu bukan dijadikan panduan dalam kegiatan mengajar, melainkan hanya untuk memenuhi kewajiban administratif. Ketika ada kunjungan Pengawas Sekolah, misalnya, barulah saduran Silabus dan RPP dalam bentuk ketikan ulang atau tulisan tangan itu berfungsi.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa banyak guru bukannya menjadi agen penerjemah dan pelaksana kurikulum yang baik, melainkan justru menjadi beban kurikulum. Sebaik apapun isi dan format sebuah kurikulum akan menjadi sia-sia di tangan pelaksana pendidikan yang tidak cakap dan selalu mencari jalan pintas.
Pelajaran lain yang dapat ditarik dari pengalaman KBK dan KTSP adalah bahwa memahami dan melaksanakan kurikulum bukan persoalan mudah. Setiap terjadi perubahan/perbaikan/pergantian kurikulum, dapat dipastikan energi dan waktu guru akan banyak tersita untuk mempelajarinya.
Ketika sebuah kurikulum belum sempat dipahami dan dijalankan dengan baik (KBK dan KTSP contohnya) oleh guru kemudian diganti dengan yang baru, di sinilah guru menjadi korban kurikulum.
Semoga kurikulum 2013 tidak mengorbankan guru dan guru tidak lagi jadi beban kurikulum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H