Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kisruh KPK-POLRI Untungkan Abraham Samad

10 Oktober 2012   02:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:00 1468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_217278" align="aligncenter" width="620" caption="Abraham Samad/Admin (Tribunnews/Herudin)"][/caption] Perselisihan KPK-POLRI Jilid II yang dipicu oleh kasus dugaan korupsi di Korlantas POLRI memang harus diakui telah menimbulkan gonjang-ganjing politik dan/atau hukum di negeri ini. Jika gonjang-ganjing itu memang dharapkan terjadi untuk mengalihkan perhatian public dan/atau untuk membangun citra pihak tertentu maka kita pantas angkat topi kepada sutradaranya. Siapa saja pihak yang diuntungkan oleh gonjang-ganjing "perseteruan" KPK-POLRI ini? Ada dua orang secara kasat mata diuntungkan oleh konflik tersebut, yaitu SBY dan Abraham Samad. Keuntungan SBY sudah banyak diulas pengamat, karena itu tulisan ini hanya mengulas keuntungan Abraham Samad saja. Keuntungan Abraham Samad Masih terlalu segar untuk dilupakan janji (sesumbar) yang pernah diucapkan oleh Abraham Samad (AS) saat menjalani fit and proper test di DPR setahun lalu. Bahwa dia (AS) akan "pulang kampung" alias mengundurkan diri dari KPK jika gagal menuntaskan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia yang salah satunya adalah kasus Bank Century. Akan tetapi sebagaimana kita saksikan bersama, hingga hari ini belum ada prestasi signifikan yang dibuat KPK selama 10 bulan di bawah AS. Penetapan Miranda sebagai tersangka dalam kasus cek pelawat DPR dan Angelina Sondakh dalam kasus wisma atlit sesungguhnya bukanlah hasil kerja keras tim AS, tetapi buah hasil kerja tim KPK sebelum nya. Berikutnya kasus Hambalang, sampai hari ini AS hanya bisa berjanji di hadapan media tentang akan adanya kejutan. Padahal kalimat serupa sudah sangat sering kita dengar keluar dari mulut ketua KPK termuda ini. Sekarang, tenggat waktu bagi AS untuk memenuhi janjinya (pulang kampung jika gagal dalam setahun) hanya tersisa 60-an hari saja. Mengingat sempitnya waktu yang tersisa sementara kasus Bank Century sepertinya mustahil dia tuntaskan dan kasus Hambalang juga belum bisa dia jadikan "hidangan" prestasinya kepada public, wajar bila AS sedikit tertekan. Meledaknya gonjang-ganjing perseteruan KPK-POLRI dalam sepekan terakhir yang telah "memaksa" presiden turun tangan menengahinya, disadari atau tidak, telah menghilangkan tekanan pada diri AS yang berhutang janji "mundur jika gagal dalam setahun". Konflik dengan POLRI, entah murni atau hasil setting-an, berhasil membentuk opini public bahwa KPK sulit menjalankan misinya karena dirongrong oleh banyak pihak: polisi, jaksa, dan politisi. Dengan terbentuknya opini seperti di public, maka masyarakat pun alih-alih menuntut janji (sesumbar) AS tersebut, malahan berbalik bersimpati mendukung KPK. Bagi public yang terpengaruh fenomena konflik perseteruan POLRI-KPK itu, KPK adalah satu-satunya lembaga yang layak dipercaya dan diandalkan untuk memberantas korupsi di negeri ini, tetapi selalu mendapat perlawanan massif dari koruptor dan kroninya. Karena itu public merasa perlu memberikan dukungan kepada KPK dalam bentuk unjuk rasa. Mendukung KPK tidak sama dengan mendukung personil KPK Kalau saja public mau sedikit berpikir jernih dan adil menilai maka dukungan berlebihan dalam bentuk unjuk rasa itu bisa jadi kontra produktif. Kontra produktif, sebab dukungan seperti itu bisa membuat personil KPK besar kepala. Sikap besar kepala bisa berakibat pada munculnya perilaku/tindakan yang arogan, mengabaikan etika, dan kesantunan. Sebagaimana diketahui, masalah etika dan kesantunan inilah yang menjadi pemicu konflik (jika memang patut disebut konflik) antara KPK dengan POLRI. KPK memang perlu kita dukung, tetapi personil komisioner KPK tetap harus kita kritisi. Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto, misalnya, memang pantas diakui sebagai sosok pendekar hukum yang layak menduduki jabatannya. Tetapi, jangan lupa mereka adalah sosok lelaki/manusia biasa yang pasti memiliki kepentingan (personal) tertentu dengan jabatan tersebut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun