Salah satu berita yang cukup mengejutkan petang hari ini (8/4/2012) adalah rilis hasil survey LSI tentang peluang menang calon-calon gubernur dalam pilkada DKI Jakarta tahun ini. Hasil survey itu menyatakan bahwa pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi (Foke-Nara) unggul dengan angka elektabilitas 49% sementara calon-calon lain tidak ada mencapai 20%. Terkait dengan hasil survey tersebut, TV One menggelar talk show pada acara rutinnya Kabar Petang dengan mengundang salah seorang penelitisenior LSI dan Budayawan Betawi Ridwan Saidi, ditambah Bang Yos (Sutiyoso) lewat teleconference.
Yang menarik dari acara talk show itu adalah ngototnya Sang Budayawan Betawi Ridwan Saidi menolak hasil survey itu yang dinilainya sebagai kebohongan. Bahkan dengan terang-terangan Si Babe Ridwan menuding survey itu adalah pesanan pihak yang diunggulkan.
Akan tetapi, konyolnya, si engkong mendebat hasil survey itu dengan modal emosi dan asumsi yang lebih menjurus ke prasangka. Emosi Ridwan Saidi tampak meninggi ketika si peneliti LSI menantang semua pihak yang tidak setuju dengan hasil survey LSI untuk menghadirkan data hasil suvei (tandingan) juga.
Mengapa Engkong Ridwan meradang menyikapi hasil survey LSI yang mengunggulkan Foke-Nara? Hanya si engkong yang paling tepat menjawabnya.
Rakyat Jakarta Cerdas?
Yang penting dipahami adalah bahwa hasil survey memang bisa dibelokkan dan disalahgunakan untuk tujuan tertentu. Tetapi benarkah orang-orang LSI mau menghancurkan kredibilitasnya dengan melakukan manipulasi murahan seperti itu? Rasanya, tidak mungkin. Jika itu yang mereka lakukan, maka kiprah mereka akan tamat.
Mengapa banyak orang yang menganggap hasil survey tersebut penuh kebohongan? Apakah karena yang unggul Foke—Nara (calon Partai Demokrat/SBY)?Atau karena mengasumsikan bahwa rakyat Jakarta sudah cerdas semua, sehingga mustahil figure yang banyak diprotes kebijakannya (seperti Foke) akan dipilih oleh orang Jakarta?
Keliru jika keyakinan seperti itu yang menjadi alasan untuk tidak bisa menerima keunggulan Foke-Nara dalam polling.
Justru karena factor kecerdasan yang bisa mendorong orang (dalam hal ini juga termasuk rakyat Jakarta) bisa menjadi lebih skeptic dan pragmatis. Orang cerdas cenderung skeptic terhadap berbagai gejala social. Tingginya puji-pujian kepada sosok tertentu yang saat ini sedang bertarung memperebutkan kursi DKI-1 juga bisa disikapi skeptic.
Setiap calon boleh saja merasa sudah sangat popular di masyarakat karena selalu disambut meriahdi tempat-tempat yang dikunjunginya. Apakah sambutan itu dapat diartikan sebagai dukungan kuat? Kan, belum tentu.
Masyarakat (tentunya juga orang Jakarta) memang sudah tahu bahwa Jokowi, Ahok, Alex, dan Hidayat adalah tokoh yang (pernah) berprestasi dalam lingkup tertentu. Tetapi sikap dan pikiran skeptic selalu memunculkan pertanyaan: apakah prestasi itu akan bisa dicapainya di tempat, situasi, dan kondisi yang berbeda? Pasti jawabannya: belum tentu!
Selanjutnya, karena skeptic terhadap segala sesuatu yang belum pasti maka orang-orang cerdas malah bisa sangat pragmatis.Jika pragmatisme jadi pegangan, maka kalimat ampuh yang jadi alat bargaining adalah “wani piro?”.
Lawanlah survei dengan survei
Jika itu yang terjadi pada masyarakat Jakarta saat ini, maka tidak ada yang salah dengan hasil polling LSI. Yang pantas disayangkan justru sikap orang-orang intelek sekelas Ridwan Saidi.
Dengan gelar Doktor yang disandangnya, Ridwan Saidi tentu tahu bahwa dalam survey itu ada kaidah (metodologis-ilmiah) yang harus diikuti dengan taat. Jika semua kaidah itu didikuti maka sebuah polling bisa memberikan hasil yang sangat akurat.
Daripada terkesan: cendikiawan kok bisanya debat kusir! lebih baik lakukan suvei tandingan. Dengan mencak-mencak menuding hasil survey orang sebagai kebohongan justru memperlihatkan kepada publik bahwa kualitas intlektualnya masih kekanak-kanakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H