Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Algojo Arab dan Jagal Indonesia: Dilema Syariah?

24 Juni 2011   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:12 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di awal bulan ini rakyat Indonesia dikejutkan oleh keputusan Pemerintah Negeri Kanguru yang menghentikan ekspor sapike Indonesia, karena tidak rela sapi-sapi mereka diperlakukan kejam oleh tukang jagal Indonesia. Masih di bulan Juni ini pula rakyat Indonesia kembali harus terkejut oleh berita hukuman pancung terhadap TKW asal Bekasi, almarhumah Ruyati, oleh (hukum) Pemertintah Arab Saudi. Kali ini bukan hanya keterkejutan yang mencuat, melainkan amarah. Amarah pada pemerintah RI yang dianggap kurang peduli terhadap nasib TKI, juga amarah terhadap penerapan hukuman itu sendiri.

Kalau ditelisik secara jernih, sebenarnya kedua kasus itu berpokok pangkal pada issue yang sama yakni implemtasi syariat Islam.

Penjagalan sapi

Penghentian ekspor sapi oleh Australia terjadi karena ada perbedaan pandangan mengenai tatacara (ritual) penyembelihan sapi. Pemerintah Australia menganggap cara tukang jagal Indonesia membunuh sapi dengan terlebih dulu mencambuk dan meringkusnya sebelum digorok adalah tindakan sadis.

Sementara para pemilik rumah potong dan tukang jagal berdalih bahwa cara yang mereka lakukan bukanlah bentuk kekejaman melainkan untuk memudahkan pelaksanaan ritual penyembelihan sesuai dengan keyakinan rakyat Indonesia yang mayoritas Islam.

Berdasarkan syariat Islam, ritual pembunuhan sapi yang benar adalah dengan menyembelihnya atas (dengan menyebut) nama Tuhan. Penyembelihan tentulah dengan golok atau pedang, artinya haruslah secara manual menggunakan tangan. Penyebutan nama Tuhan (berdoa singkat) harus dilakukan penjagal bersamaan dengan gerakan tangannya menggorok leher sapi. Sapi-sapi tersebut haruslah dalam keadaan segar dan sadar (tidak terbius). Jika ketentuan itu dilanggar maka daging sapi tadi menjadi haram dikonsumsi.

Sebaliknya, pihak Australia menginginkan agar sapi-sapi itu dibius sebelum digorok agar si sapi tidak merasakan sakit saat digorok. Atau dengan cara lain menggunakan mesin potong, agar proses kematian sapi bisa berjalan cepat tanpa merasakan kesakitan yang terlalu lama. Ada pun soal doa singkat, mereka menyarankan agar dilakukan secara massal saat pembiusan atau sebelum mesin potong digerakkan.

Pertanyaannya: Dapatkah syariat Islam disesuaikan dengan kemajuan teknologi atau perubahan tata nilai moral, semisal dengan mempertimbangkan hak-hak binatang? Jika penyesuaian dilakukan apakah tidak akan tergolong perbuatan bid’ah, atau bahkan dosa?

Hukum pancung oleh algojo

Menarik sekali menyimak tanggapan para tokoh Islam Indonesia terhadap kasus hukuman pancung yang dialami almarhumah Ruyati. Ada yang terang-terangan mengecam pelaksanaan hukuman itu sebagai tindakan tidak adil, mengingat latar belakang perbuatan pembunuhan tidak dijadikan pertimbangan.Tetapi ada pula yang terkesan mendua, di satu sisi ingin tampak berpihak pada nasib si terhukum, tetapi di sisi lain tidak ingin terlihat menggugat hukum syariah itu sendiri.

Okay lah, apa pun sikap dan dimana pun posisi para tokoh tersebut semuanya sah-sah saja mereka ambil sebagai pilihan karena kepentingannya berbeda-beda. Yang menarik di pertanyakan, seperti halnya untuk kasus sapi di atas, adalah:

“Apakah hukum syariah qishas itu kaku, atau fleksibel? Siapa yang berwenang menentukan kekakuan atau keflesibelan itu?”

Pertanyaan ini penting karena di sinilah sumber kontroversi implementasi syariah. Dalam kasus yang dihadapi para TKI di Saudi Arabia tampak sekali ketidak jelasan status itu (kaku atau fleksibel).

Terkesan sangat kaku ketika kita mendengar bahwa pembatalan eksekusi hanya dapat diberikan raja setelah terhukum mendapat maaf dari ahli waris korban.

Akan tetapi, ketika melihat fakta bahwa (dalam kebanyakan kasus TKI) hanya perbuatan membunuhnya yang diperkarakan sementara penyebab terhukum melakukan perbuatan itu seringkali dibaikan, maka tampak sekali bahwa Hukum Islam itu sangat fleksibel. Fleksibel karena penerapannya tidak “kedap” terhadap kepentingan dan status sosial selera selera birokrat.

Padahal, dengan mengabaikan faktor penyebab seseorang membunuh berarti telah mengabaikan ajaran Islam juga (mengutip pandangan Said Agil Sirad) yang menyatakan bahwa pembunuhan yang dilakukan seseorang karena membela diri atau menutupi malu dapat dibenarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun